ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Secara kebahasaan, zhihar berasal dari kata zhahr nan berfaedah 'punggung.' Hal itu disebabkan oleh perkataan nan sering diucapkan seorang suami saat mau melakukan zhihar atas istrinya, "Bagiku, Anda seperti punggung ibuku."
Zhihar adalah ungkapan suami nan menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya, seperti ibu namalain kerabat perempuannya sendiri. Jadi, ungkapan zhihar hanya bisa berasal dari suami, bukan istri.
Jika istri mengucapkan "bagiku, Anda seperti punggung ibuku" kepada suaminya, maka itu tidak dianggap sebagai zhihar.
Masyarakat Arab sebelum kehadiran dakwah Nabi Muhammad SAW menganggap zhihar sebagai sebuah langkah talak. Dengan hadirnya Islam, tradisi masa Jahiliyah itu dipandang berbeda. Syariat menetapkan zhihar dengan ketentuan non-talak.
Para ustadz sepakat bahwa seorang suami nan melakukan zhihar berfaedah telah melakukan sebuah dosa besar. Ini berasas Alquran.
Artinya, "Orang-orang di antara Anda nan men-zihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah wanita nan melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka betul-betul telah mengucapkan suatu perkataan nan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun" (QS al-Mujadalah: 2).
Karena itu, seorang suami nan terlanjur melakukan zhihar sebaiknya segera bertobat kepada Allah. Kemudian, mintalah maaf kepada istri dan hendaklah kembali berbaikan.
Dua jenis
Seperti halnya talak, ungkapan zhihar juga terdiri atas dua macam, adalah sharih dan kinayah. Sharih berfaedah ungkapan nan tidak mengandung makna selain makna zhihar meskipun tidak disertai niat oleh orang nan mengucapkannya.
Sebagai contoh, ungkapan si suami kepada istrinya, "Bagiku, Anda seperti punggung ibuku.” Perkataan lain, meskipun tidak spesifik menyebut "punggung" tetap bisa dikategorikan sebagai ungkapan sharih. Misalnya, suami berbincang kepada istrinya, “Bagiku, Anda seperti badan, tubuh, jasad, fisik, diri, keseluruhan ibuku.”
Adapun bagian-bagian lain nan tidak mencakup makna punggung, bisa dikategorikan bukan zhihar. Misalnya, menyamakan hidung, mata namalain alis istri dengan hidung, mata namalain alis ibu. Sebab, bagian-bagian itu biasa dipuji.
Ungkapan zhihar secara sharih, baik disertai niat maupun tidak, itu termasuk zhihar. Dalam arti, si suami mengucapkan itu dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta sadar terhadap makna nan dia ucapkan.
Adapun ungkapan kinayah berkemungkinan mengandung makna selain zhihar. Misalnya, perkataan-perkataan seperti "Bagiku, Anda seperti ibuku”; “Bagiku, Anda seperti kerabat peremepuanku”; “Di hadapanku, Anda seperti ibu namalain saudariku”; namalain “Bagiku, Anda seperti mata ibuku.”
Jika suami mengucapkan kata-kata itu, maknanya berpulang kepada niat dirinya. Jika dia bermaksud zhihar, ungkapan itu seketika menjadi zhihar. Jika dia bermaksud memuji istrinya, maka itu tidak menjadi zhihar.
Zhihar juga dibedakan berasas masa berakhirnya. Ada nan permanen (muabbad). Ada pula nan sementara (mu’aqqat).
Dikatakan permanen jika tidak ditunaikan kafaratnya. Zhihar menjadi muaqqat jika si suami menunaikan kafaratnya. Zhihar juga bisa muaqqat jika dibatasi waktu tertentu, seperti satu pekan namalain satu bulan. Bila demikian, masa zhihar bakal lenyap ketika tiba waktu nan telah disebutkan, tanpa kudu adanya kafarat.
Konsekuensi zhihar