ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Dahulu kala, di kalangan Bani Israil terdapat seorang mahir ibadah. Ia rutin bermohon di rumahnya nan terletak di atas gunung. Pada suatu hari, dia keluar dari rumahnya untuk berjalan-jalan sembari mengagumi keelokan alam buatan Allah.
Tiba-tiba, lewatlah seseorang nan berbau kurang sedap di hadapannya. Ahli ibadah itu segera beranjak dan mempercepat langkahnya. Pemandangan itu kemudian dilihat oleh setan.
Lantas, setan ini menampakkan dirinya dalam corak manusia. Makhluk terkutuk itu tampil dengan rupa seorang tua renta.
“Wahai hamba Allah! Sungguh, kebaikan kebaikanmu menguap, tidak dihitung di sisi Allah,” kata kakek nan adalah setan itu.
“Mengapa begitu?”
“Karena engkau enggan mencium aroma sesama manusia,” ucap setan itu seraya pura-pura bersungkawa hati.
Sejurus kemudian, setan bermuka manusia itu berbincang lagi dengan nada menasihati, “Kalau engkau mau Allah mengampuni kesalahanmu itu, hendaklah engkau memburu seekor tikus gunung. Lantas, sembelihlah dia dan gantungkan buntang tikus itu pada lehermu ketika shalat.”
Mendengar itu, mahir ibadah tersebut langsung mengiyakan. Karena kebodohannya, dia terus melakukan ibadah dengan membawa najis hingga ajal menjemputnya.
Dalam kisah nan berbeda, setan berupaya menyesatkan seorang abid. Namun, kali ini orang nan digodanya itu tidak sekadar saleh, tetapi juga berilmu. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Sufi itu menuturkan ceritanya kepada jamaah. Pada suatu hari, dia sedang melangkah di padang nan lapang. Tiba-tiba, muncul sinar nan banget terang di arah ufuk. Lantas, bunyi memancar dari sumber sinar tersebut.
“Wahai Abdul Qadir! Ketahuilah bahwa saya adalah Tuhanmu!”
Sang mursyid tak bersuara saja, menunggu si bunyi menyelesaikan kalimatnya.
“Sungguh, saya telah mengkhususkanmu di antara semua manusia. Telah kuhalalkan bagimu semua perihal nan kuharamkan pada umumnya anak Adam!”