ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Menyambung kisah sebelumnya, tidak semua rakyat seturut dengan penguasa nan lalim lagi musyrik, Decius. Di antara mereka terdapat para pemuda. Buku Corpus Inscriptionum Arabicarum Palaestinae (Jilid Enam) menyebut siapa saja nama-namanya, nan kelak bergelar Ashab al-Kahfi.
Dalam bahasa Latin, julukan untuk para pemuda itu sebelum berakidah adalah Achillides, Diomedes, Diogenes, Probatus, Stephanus, Sambatius, dan Quiriacus. Setelah menjadi pengikut aliran Nabi Isa AS, mereka berturut-turut berganti nama menjadi Maximianus, Malchus, Martinianus, Constantinus, Dionysius, Johannes, dan Serapion.
Sumber lain, Ensiklopedia Britannica, mengungkapkan bahwa tradisi Kristen Barat menamakan mereka sebagai Maximian, Malchus, Marcian, John, Denis, Serapion, dan Constantine. Adapun menurut tradisi Kristen Ortodoks mereka terdiri atas Maximilian, Jamblichus, Martin, John, Dionysius, Antonius, dan Constantine.
Dari lingkungan elite
Selain Antonius, keenam orang tersebut merupakan pejabat krusial di lingkungan istana gubernur Daqyanus. Seperti halnya Decius, gubernur tersebut merupakan seorang penyembah dewa-dewi Romawi. Tidak mengherankan jika mertua Maximilian itu menghiasi setiap perspektif kota Ephesus dengan patung-patung nan menggambarkan aliran politeisme.
Akan tetapi, keluarganya tidak seluruhnya terjerumus kesesatan. Istrinya sendiri diam-diam berakidah pada tauhid. Setelah perihal itu diketahuinya, Daqyanus pun membakar hidup-hidup pasangannya itu di depan umum. Kejadian ini disaksikan putrinya, Helen, nan akhirnya mengikuti jejak ibundanya, menjadi orang berakidah secara sembunyi-sembunyi.
Ketika dewasa, Helen dinikahkan dengan Maximilian nan tidak lain anak seorang pejabat nan dekat secara politik dengan Kaisar Decius. Daqyanus berharap, pernikahan putrinya itu bakal memuluskan jabatannya di Ephesus. Setidak-tidaknya, besannya itu nan menjabat senat tidak mungkin menjelek-jelekkan namanya di hadapan sang kaisar.
Pasangan Maximilian dan Helen dikaruniai anak berjulukan Iqmith.
Suatu hari, Maximilian mau memesan sebuah patung dewa untuk disembahnya di dalam rumah. Dia pun pergi kepada seorang perupa nan paling terkenal di pasar. Awalnya, tukang tersebut menolak permintaan Maximilian dengan argumen dirinya sekarang hanya membikin pot-pot dari tanah liat.
Menantu Gubernur Daqyanus itu terus memaksanya, sehingga dibuatlah sebuah patung seperti nan diinginkan.
Beberapa hari kemudian, patung dewa nan dinanti-nanti akhirnya tiba di rumah. Maximilian rupanya kecewa setelah melihatnya. Dia menilai mutu pesanannya itu jauh dari nan diharapkannya semula. Patung itu pun dibuangnya, sehingga pecah berkeping-keping.