Mengenal Nama Allah “al-‘azhim”

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Setiap nama Allah mempunyai makna nan mendalam dan penuh hikmah, memberikan pelajaran bagi hamba-Nya nan beriman. Salah satu nama-Nya nan penuh keagungan adalah Al-‘Azhim, nan berfaedah Mahaagung. Nama ini tercantum dalam beragam ayat Al-Qur’an, menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya nan tiada tara. Dengan mengenal dan memahami makna nama Allah Al-‘Azhim, seorang hamba bakal semakin menguatkan keimanannya kepada Sang Pencipta.

Melalui tulisan ini, kita bakal bersama-sama menggali dalil-dalil nan menunjukkan nama Allah Al-‘Azhim, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga pembahasan ini semakin mendekatkan hati kita kepada Allah, memperkuat kepercayaan kita, dan menumbuhkan rasa takut serta cinta kepada-Nya.

Dalil nama Allah “Al-‘Azhim“

Nama ini disebutkan sebanyak sembilan kali dalam Al-Qur’an, di antaranya:

Firman Allah Ta’ala,

وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Dan pemeliharaan keduanya (langit dan bumi) tidak memberatkan-Nya. Dan Dia Mahatinggi, Mahaagung.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Dan firman-Nya,

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

“Maka, bertasbihlah dengan nama Tuhanmu nan Mahaagung.” (QS. Al-Waqi’ah: 96, 74; dan QS. Al-Haqqah: 52) [1]

Kandungan makna nama Allah “Al-‘Azhim“

Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dulu makna kata “Al-‘Azhim” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.

Makna bahasa dari “Al-‘Azhim“

Az-Zajjaji (w. 337 H) mengatakan,
“Al-‘Azhim adalah ( ذو العظمة والجلال في ملكه وسلطانه عز وجل ) nan mempunyai kebesaran dan keagungan dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya sebagaimana nan diketahui oleh bangsa Arab dalam pidato dan percakapan mereka. Seorang pembicara berkata, ( من عظيم بني فلان اليوم؟ ) ‘Siapakah orang besar dari Bani Fulan hari ini?’ Maksudnya, siapa nan mempunyai kebesaran dan kepemimpinan di antara mereka.” [2]

Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan,

(عظم) الْعَيْنُ وَالظَّاءُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى كِبَرٍ وَقُوَّةٍ.

“(Huruf ‘ain’, ‘zha’, dan ‘mim’) merupakan akar kata nan satu nan sahih, nan menunjukkan kebesaran dan kekuatan.” [3]

Al-Fayyumi (w. sekitar 770 H) mengatakan,

وَالْعَظَمَةُ الْكِبْرِيَاءُ

“‘Al-‘Azhamah’ berfaedah kebesaran dan keagungan.” [4]

Makna “Al-‘Azhim” dalam konteks Allah

Syekh Abdurrahman bin Nashi As-Si’diy mengatakan,

{‌الْعَظِيمُ} الجامع، لجميع صفات العظمة والكبرياء، والمجد والبهاء، الذي تحبه القلوب، وتعظمه الأرواح، ويعرف العارفون أن عظمة كل شيء، وإن جلت عن الصفة، فإنها مضمحلة في جانب عظمة العلي ‌العظيم.

“Al-‘Azhim adalah nan mengumpulkan semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, dan keindahan. Dialah nan dicintai oleh hati, diagungkan oleh ruh, dan dikenal oleh orang-orang nan berilmu, bahwa kebesaran segala sesuatu, meskipun sangat besar sehingga susah digambarkan, tetaplah lenyap dibandingkan dengan kebesaran Al-‘Aliy Al-‘Azhim.” [5]

Dalam kitab lain, Asy-Syekh As-Si’diy menjelaskan,

Makna kebesaran (kibriya`) dan keagungan (‘azhamah) ada dua macam:

Pertama, berangkaian dengan sifat-sifat-Nya. Allah mempunyai semua makna kebesaran dan keagungan, seperti kekuatan, kemuliaan, kesempurnaan kekuasaan, keluasan ilmu, kemuliaan nan sempurna, dan sifat-sifat keagungan, serta kebesaran lainnya. Di antara keagungan-Nya adalah bahwa langit dan bumi seluruhnya seperti biji sawi di genggaman Ar-Rahman, sebagaimana nan dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّتُ بِيَمِينِهِ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan nan semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari hariakhir dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67)
Juga firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya lenyap, tidak ada seorang pun nan dapat menahan keduanya, selain Dia. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fatir: 41)
Oleh lantaran itu, Allah mempunyai kebesaran dan keagungan nan tidak terukur, nan tidak dapat dijangkau oleh makhluk.

Kedua, tidak ada seorang pun nan berkuasa untuk diagungkan, dibesarkan, dimuliakan, dan disanjung, selain Dia. Allah berkuasa untuk diagungkan oleh hamba-hamba-Nya dengan hati, lisan, dan kebaikan perbuatan mereka. Hal ini dilakukan dengan berupaya mengenal-Nya, mencintai-Nya, tunduk kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggerakkan lisan untuk mengingat-Nya dan memuji-Nya, serta menggerakkan personil tubuh untuk berterima kasih kepada-Nya dan berakidah kepada-Nya. [6]

Konsekuensi dari nama Allah “Al-‘Azhim” bagi hamba

Penetapan nama “Al-‘Azhim” bagi Allah Ta’ala mempunyai banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:

Pertama: Mengagungkan Allah dengan keagamaan nan betul terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya

Seorang muslim kudu mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan dan menghormati-Nya dengan sebenar-benar penghormatan. Meskipun perihal ini tidak mungkin dicapai secara sempurna, seorang muslim kudu berupaya sekuat tenaga untuk mencapainya. Pengagungan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimulai dengan keagamaan terhadap kebesaran dan kemuliaan nama-nama dan dan sifat-sifat nan layak bagi-Nya, sebagaimana nan Dia sebutkan dalam kitab-Nya namalain melalui Rasul-Nya. Seorang muslim kudu berakidah kepada nama-nama dan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk namalain meniadakan maknanya. Siapa saja nan menyerupakan Allah dengan makhluk, namalain meniadakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, berfaedah dia tidak mengagungkan Allah dengan sebenarnya.

Kedua: Memperbanyak zikir kepada Allah

Mengagungkan Allah juga melibatkan aktivitas memperbanyak zikir kepada-Nya di setiap waktu. Memulai segala urusan dengan menyebut nama-Nya, memuji dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, serta mengucapkan kalimat tahlil (lailahaillallah) dan takbir (allahu akbar). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar bertasbih dengan nama ini ketika rukuk. Beliau bersabda,

ألا وإني نُهيتُ أنْ أقرأ القرآن راكعاً أو ساجداً، فأمَّا الركوع؛ فَعظِّموا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ، وأما السُّجودُ؛ فاجْتَهدِوا في الدُّعاء، فقَمِنٌ أنْ يُسْتجابَ لكم

“Ketahuilah, saya dilarang membaca Al-Qur’an saat rukuk namalain sujud. Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, lantaran besar kemungkinan angan kalian bakal dikabulkan.” (HR. Muslim, no. 479)

Ketiga: Mengagungkan Rasulullah dan ulama

Mengagungkan Allah juga berfaedah mengagungkan Rasul-Nya serta memuliakannya. Allah berfirman,

لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Agar Anda berakidah kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan (menghormati) dan mengagungkan-Nya.” (QS. Al-Fath: 9)
Makna dari ( توقروه ) adalah ( تعظموه ) mengagungkannya. [7]
Tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun di atas firman Allah dan sabda Rasul-Nya, sungguh pun tingginya kedudukan orang tersebut. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ

“Wahai orang-orang nan beriman, janganlah Anda mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 1)
Hal ini juga mencakup penghormatan kepada para ulama, lantaran mereka adalah pewaris para nabi.

Keempat: Mengagungkan syiar-syiar Allah dan menjauhi larangan-Nya

Mengagungkan Allah juga mencakup penghormatan terhadap syiar-syiar agama-Nya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lainnya. Allah berfirman,

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Selain itu, mengagungkan Allah berfaedah menjauhi segala larangan dan hal-hal nan diharamkan oleh-Nya, baik dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan larangan-larangan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30)
Di antara larangan nan paling besar adalah syirik dalam segala bentuknya. Sebaliknya, seorang muslim kudu melaksanakan perintah-perintah Allah, terutama perintah untuk mentauhidkan-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. [8]

Sebagai penutup, memahami nama Allah Al-‘Azhim mengarahkan seorang hamba untuk menyadari keagungan dan kebesaran Allah nan tak tertandingi. Penghayatan terhadap makna nama ini mengajarkan kita untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta mempersembahkan segala corak ibadah hanya kepada-Nya. Kesadaran bakal keagungan Allah juga mendorong kita untuk mengagungkan syariat-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan memenuhi kehidupan dengan ketaatan kepada-Nya.
Semoga pemahaman ini menjadikan kita hamba nan semakin dekat kepada Allah, dan senantiasa menghormati serta memuliakan-Nya dengan sebenar-benarnya penghormatan.

***

Rumdin PPIA Sragen, 1 Rajab 1446 H

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

Ibn Faris, Abu Al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis Al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad Al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar Al-Hadith, 1439 H.

Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib As-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.

As-Si‘diy, Abdurrahman bin Nashir. Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-Allam fi ‘Ilm Al-‘Aqa’id wa At-Tauhid wa Al-Akhlaq wa Al-Ahkam Al-Mustanbithah min Al-Qur’an. Riyadh: Dar Fadhilah.

Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.

An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.

Catatan kaki:

[1] An-Nahju Al-Asma, hal. 197.

[2] Isytiqaq Asma’ Allah, hal. 111.

[3] Maqayiis Al-Lughah, hal. 686.

[4] Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir, hal. 420.

[5] Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 954.

[6] Fath Ar-Rahim Al-Malik Al-‘Allam, hal. 52.

[7] Tafsir Ibnu Katsir, 7:329.

[8] Disarikan dari An-Nahj Al-Asma, hal. 199-201.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027