ARTICLE AD BOX
Sesungguhnya ketaatan dan kebaikan saleh adalah lantaran utama untuk meraih kebahagiaan di bumi dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan ketaatan dan kebaikan saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan nan bakal didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346.)
Iman dan kebaikan saleh inilah nan bakal membuahkan kehidupan nan baik di bumi dan di akhirat. Hal ini sebagaimana nan difirmankan oleh Allah,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa melakukan kebaikan saleh dari kalangan laki-laki namalain wanita dalam keadaan beriman, maka betul-betul Kami bakal memberikan kepadanya kehidupan nan baik, dan betul-betul Kami bakal berikan jawaban untuk mereka dengan pahala nan lebih baik dari apa nan mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang nan melakukan kebaikan saleh. Yaitu, ibadah nan mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia laki-laki namalain wanita dari umat manusia, sedangkan hatinya berakidah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kebaikan nan diperintahkan di sini adalah sesuatu nan memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah bakal memberikan kepadanya kehidupan nan baik di bumi dan bakal membalasnya di alambaka dengan jawaban nan lebih baik dari apa nan telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:601.)
Urgensi amal
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya pengetahuan bisa berfaedah tanpa amalan, niscaya Allah nan Mahasuci tidak bakal mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya ibadah bisa berfaedah tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak bakal mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ
“Tidaklah Allah menyia-nyiakan kebaikan kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ustadz mahir tafsir tidak berbeda bahwa nan dimaksud ketaatan di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142.)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu perihal nan telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ustadz sesudah mereka, dan para ustadz nan kami jumpai bahwasanya ketaatan terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah seumpama tidak dibarengi oleh bagian nan lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145.)
Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ustadz Sunnah telah sepakat bahwasanya kebaikan adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa ketaatan adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145.)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة
“Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim)
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa sabda ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1:307)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله
“Amalan pertama nan bakal dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari hariakhir adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang nan meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21)
Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar nan paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang nan membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, namalain meminum khamar. Dan pelakunya berkuasa mendapatkan ancaman jawaban Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di bumi dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5)
Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah ibadah nan membedakan antara kekafiran dan keagamaan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176)
Cakupan ketaatan dan pondasinya
Para ustadz menjelaskan bahwa ketaatan terdiri dari ucapan dan perbuatan. nan dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan nan dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan personil badan. Dengan kata lain, ketaatan terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang lantaran kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, ketaatan bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga ketaatan bukanlah semata-mata dengan iktikad di dalam hati saja. Dan bukan pula dia dengan beramal tanpa disertai iktikad dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini kudu ada dan saling berangkaian satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175)
Dalam iktikad Islam, ketaatan itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada nan berangkaian dengan hati, ada nan berangkaian dengan lisan, dan ada nan berangkaian dengan personil badan. Sebagaimana ketaatan juga mempunyai pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ
“Tidakkah Anda memandang gimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat nan baik itu seperti sebuah pohon nan bagus nan pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24)
Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan ketaatan dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon nan mempunyai pokok, cabang, dan buah. Maka, ketaatan pun demikian, dia mempunyai pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297)
Di antara dalil nan menunjukkan bahwa ketaatan mencakup ucapan lisan, kepercayaan hati, dan kebaikan personil badan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ
“Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. nan tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan nan terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu bagian keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah kebaikan personil badan, dan rasa malu adalah bagian dari kepercayaan namalain ibadah hati. (lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian ketaatan nan paling utama adalah tauhid nan hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara nan tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang ketaatan nan lain, selain setelah sahnya perihal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2:88)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala corak ibadah dan ketaatan, semuanya kudu dilandasi dengan iktikad tauhid. Tauhid inilah nan menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat nan merupakan rukun Islam nan pertama. Maka, tidaklah sah suatu kebaikan namalain ibadah apa pun, tidaklah ada orang nan bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, selain seumpama dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1:17)
Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap kebaikan nan dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid namalain pelakunya terjerumus dalam syirik, maka perihal itu tidak ada harganya dan tidak mempunyai nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, gimana pun seorang berupaya keras dalam melakukan sesuatu nan tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, melakukan baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla,
وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا
‘Kami teliti segala sesuatu nan telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan dia laksana debu nan beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11)
Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa nan dulu telah mereka amalkan” adalah berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan dia ibaratkan debu nan beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya ibadah tidak bakal diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, seumpama seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid seumpama tercampuri dengan syirik, maka perihal itu bakal merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya kudu mengenali prinsip tauhid dan prinsip syirik agar dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah nan bakal menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah kepercayaan Allah dan prinsip aliran Islam. Tauhid inilah petunjuk nan sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu corak kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11)
Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun nan meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti mempunyai kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung namalain berhala. Tidak tampak memuja mentari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu nan menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari berakidah kepada Allah.” (lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147)
Pokok kebaikan ibadah
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua ibadah adalah kecintaan. Seorang manusia tidak bakal melakukan amalan/perbuatan, selain untuk apa nan dicintainya, bisa berupa kemauan untuk mendapatkan kegunaan namalain demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi perihal itu terjadi lantaran untuk mendapatkan sesuatu nan disenangi lantaran barangnya, seperti halnya makanan, namalain lantaran lantaran luar nan mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, apalagi dia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya Anda melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu bakal terasa sunyi dan tidak ada rohnya sama sekali…” (lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2:3, cet. Maktabah Al-‘Ilmu)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang bakal menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena Anda mengagungkan-Nya, maka Anda merasa takut kepada-Nya. Dan lantaran Anda mencintai-Nya, maka Anda berambisi dan mencari keridaan-Nya.” (lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad l-Mustaqni’, 1:9, cet. Mu’assasah Asam)
Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah nan diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini kudu berpadu. Barangsiapa nan hanya berjuntai kepada salah satunya, maka dia belum berakidah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa minta semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun berakidah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ibadah itu mencakup segala perihal nan diperintahkan maupun larangan nan ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu berbudi pekerti wajib namalain mustahab/sunah. Demikian pula, larangan nan berbudi pekerti haram ataupun makruh. Oleh lantaran itu, ibadah meliputi segala nan dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan nan tampak maupun nan tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10)
Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah nan dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan langkah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah kudu dikerjakan dengan tulus untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah kewenangan unik milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada nan berkuasa disembah, selain Allah. Oleh lantaran itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23)
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: KincaiMedia