ARTICLE AD BOX
ILUSTRASI Ulama. Imam Hanafi.
KincaiMedia, JAKARTA -- Memasuki abad kedua Hijriyah, Kufah menjadi tempat berkumpulnya kaum Muslimin terpelajar.
Dari beragam wilayah di Mesopotamia, mereka berdatangan ke kota tersebut untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Ada cukup banyak ustadz setempat nan mempunyai reputasi besar. Seorang di antaranya adalah Abu Hanifah.
Ia berjulukan komplit Nu'man bin Tsabit bin Zauti bin Marzuban. Menurut adz-Dzahabi, seperti dinukil Prof Abul Yazid Abu Zaid al-'Ajami dalam Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, Abu Hanifah berasal dari bangsa Persia.
Mengikuti jejak ayahnya, dia sempat berprofesi sebagai saudagar kain. Abu Hanifah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Kufah. Sejak kecil, dirinya sudah dibekali pengetahuan tentang pengetahuan berbisnis oleh orang tuanya. Akan tetapi, hatinya selalu terpaut pada masjid dan majelis ilmu. Kecerdasannya kemudian menarik perhatian seorang ustadz tabiin, Amir bin Syurahbil Asy Sya'bi.
Suatu hari, Asy Sya'bi berhadapan dengan Abu Hanifah muda. Kepada pemuda itu, ustadz tersebut bertanya, “Kau mau ke mana?”
“Aku mau ke pasar seperti biasa,” jawab Abu Hanifah. “Bukan itu maksudku, kata Asy Sya'bi menimpali, saya mau tahu, ustadz mana lagi nan bakal kau datangi?”
“Aku jarang menemui ustadz beberapa hari terakhir. Mungkin lantaran kesibukanku di pasar. Sebaiknya jangan lalai. Kau kudu terus belajar ilmu-ilmu kepercayaan dan dekat dengan berilmu ulama. Sebab, saya memandang bahwa kau pemuda nan pandai dan aktif,” ujar Asy Sya'bi.
Nasihat ustadz tersebut sangat membekas dalam benaknya. Abu Hanifah pun tidak lagi menghabiskan hari-harinya di pasar. Ia memilih kesibukan baru nan lebih disukainya, adalah menuntut ilmu-ilmu agama.
Keputusan itu memang tidak sampai membuatnya berhujung total dari bumi usaha. Namun, sejak saat itu perdagangan nan dijalankannya hanya menyita sebagian mini dari waktunya.