Hadis: Zuhud Untuk Meraih Cinta Allah ‘azza Wajalla

Sedang Trending 4 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

الحمد لله رب العالمين و صلاة و سلام على رسولنا محمد و علىى آله و أصحابه أجمعين

اما بعد

Seluruh pujian hanya milik Allah Ta’ala Tuhan semesta alam. Selawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada family serta sahabat beliau.

Pada era ini, generasi kita disuguhi dengan kejadian flexing dari kalangan orang kaya nan membikin konten untuk memamerkan kekayaan dan kekayaan mereka. Dan dengan pengaruh media sosial nan luar biasa di kalangan anak muda, menjadikan konten-konten pamer kekayaan itu sangat dikagumi. Hingga menggiring generasi kita untuk mengejar kekayaan bumi untuk meniru style konten kreator itu untuk memamerkan kekayaan di media sosial.

Oleh lantaran itu, kami merasa perlu untuk mengangkat salah satu kegunaan sabda ke-31 dalam Al-Arba’ín, adalah zuhud. Dalam sabda ini, disebutkan bahwa ‘Zuhudlah, maka Allah bakal mencintaimu’. Dan sudah semestinya setiap muslim mempunyai sifat zuhud untuk meraih cinta Allah ‘Azza Wajalla. Dengan mempunyai sifat zuhud ini, setiap muslim diharapkan lebih mendahulukan alambaka daripada dunia.

Dalam tulisan ini, insyaAllah kami berupaya untuk menjelaskan sabda ke-31 dan kami berupaya menghadirkan penjelasan-penjelasan penguat dari kitab-kitab. InsyaAllah bakal kami hadirkan poin-poin utama kemudian penjelasan lafaz-lafaz krusial dalam hadis.

Teks hadis

عَنْ أَبي العَباس سَعدِ بنِ سَهلٍ السَّاعِدي رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُول الله: دُلَّني عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمَلتُهُ أَحَبَّني اللهُ، وَأَحبَّني النَاسُ؟ فَقَالَ: (ازهَد في الدُّنيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وازهَد فيمَا عِندَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ) (1) حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة.

Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu kebaikan nan seumpama saya lakukan, Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku.” Beliau menjawab, “Zuhudlah di dunia, maka Allah bakal mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa nan ada di tangan manusia, maka manusia bakal mencintaimu.” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya)

Penjelasan lafaz-lafaz dalam hadis

Di antaranya:

أحبني الله و احبني الناس

Ahabbaniyallahu adalah mengharapkan pahala dan kebaikan , sedangkan ahabbaniannasu condong pada kebiasaan, lantaran kecintaan mereka mengikuti kecintaan Allah. Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia bakal memberikan cinta-Nya ke dalam hati makhluk-Nya. Firman Allah,

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحْمَـٰنُ وُدًّۭا

“Sesungguhnya orang-orang nan berakidah dan beramal saleh, kelak Allah nan Maha Pemurah bakal menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

ازهد

Dari kata zuhud, dalam corak kata perintah sehingga menjadi izhad, artinya: zuhudlah. Yaitu, perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi namalain mempunyai sifat zuhud pada bumi dan pada apa nan menjadi milik orang lain.

في الدنيا

Dengan menganggap mini dan meremehkan. Karena Allah menilai bumi sebagai sesuatu nan mini dan hina, mengingatkan bakal tipu dayanya. Firman Allah,

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan bumi memperdayakan kamu.” (QS. Luqman: 33)

Firman-Nya,

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan bumi ini hanyalah permainan dan sesuatu nan melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan di antara Anda serta berbangga-bangga tentang banyaknya kekayaan dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)

يحبّك الله

Dengan ba’ bertasydid difathah, asalnya yuhbibka dengan di-jazm sebagai jawaban dari amr, maka ketika hendak di-idhgham-kan kasrah ba’ nan pertama dipindah ke huruf ha dan huruf ba’ nan kedua, difathahkan agar dua sukun tidak bertemu, dan meringankan. Makna cinta Allah kepada hamba-Nya adalah rida dan kebaikan-Nya kepada mereka.

Poin-poin utama hadis

Hadis ini menjelaskan dua wasiat agung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pertama: Zuhud terhadap dunia, dan bahwa zuhud adalah aspek penyebab kecintaan Allah kepada hamba-Nya.

Kedua: Zuhud terhadap apa nan dimiliki orang lain. Ini merupakan sarana mendapatkan kasih sayang dan cinta manusia.

Manusia tidak bakal mendapatkan kebahagiaan bumi dan akhirat, selain dia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama mereka. Cinta Allah bisa diraih dengan mengutamakan kehidupan alambaka daripada kehidupan bumi nan fana. Sedangkan kasih sayang sesama manusia bisa didapat dengan tidak serakah terhadap kekayaan milik orang lain, dan lebih mengutamakan kebaikan saleh. Dengan begitu, dia bakal meraih kehormatan dan meraih ibadah saleh. Karena kebaikan saleh itu lebih baik dan lebih kekal di alambaka kelak.

Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berbicara tentang sabda ini, “Hadis ini merupakan salah satu dari empat sabda nan menjadi sumber aliran Islam.”

Penjelasan makna hadis

Orang nan mempunyai sifat zuhud pandangannya sudah condong kepada akhirat. Jadi, ketika dia mau melakukan sesuatu, namalain membicarakan sesuatu, maka dia lihat ini berfaedah di alambaka namalain tidak. Kalau tidak berfaedah untuk akhiratnya, maka dia tinggalkan. Ini tingkatan paling tinggi, paling berat. Jadi, zuhud itu tidak dari penampilan. Bukanlah orang nan memakai baju robek-robek, dan bukan menampakkan kemiskinan, kelemahan, kurang tidur. Itu bukan zuhud. Tetapi, zuhud meninggalkan hal-hal nan tidak berfaedah di alambaka walaupun orangnya kaya. Oleh lantaran itu, Abdullah bin Mubarrak, walaupun orangnya kaya, tetapi dia zuhud. Sehingga beliau pun diprotes oleh jamaahnya, ‘Engkau menyuruh kami zuhud, tetapi engkau kaya.’ Lalu, Abdullah bin Mubarrak mengatakan, “Saya berbisnis, bekerja, dagang, saya punya kekayaan untuk menjaga wajah ini dari meminta-minta.” Itulah prinsip dari zuhud.

“Zuhudlah di dunia, maka Allah bakal mencintaimu.” Tetap mencari dunia, tetapi bumi ini untuk akhiratnya, bukan lantaran terikat dengan dunia. Seandainya kita melakukan itu, kita bakal dicintai Allah.

“Zuhudlah dengan apa nan di tangan manusia (merasa tidak butuhlah dengan apa nan di tangan manusia), maka manusia bakal mencintaimu.”

Dalam kitab syarah-nya, Ibnu Abthar rahimallahu ta’ala berkata,

“Adapun kenapa orang zuhud di bumi adalah lantaran dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lantaran orang zuhud di bumi itu cintanya kepada alambaka jauh lebih besar. Sehingga, ketika seseorang cintanya kepada alambaka lebih besar, maka amalan-amalan nan dia lakukan adalah ibadah nan bakal mengantarkan pada kebahagiaan di akhirat.”

Kalau seandainya kita bisa menjadikan ini sebagai standar, maka lihat dari amalan-amalan kita, lebih besar mana cinta dunianya namalain akhiratnya. Kalau seandainya kita antusias untuk mencari akhirat, jika ada kesempatan untuk melakukan ibadah akhirat, silam kita semangat untuk melakukannya, insyaAllah kita cinta alambaka jauh lebih besar.

Karena cinta itu sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, ‘Cinta itu penggerak’, maka dari cinta ini juga, keluar rasa takut dan harap. Maka, jika seandainya ada kesempatan melakukan untuk alambaka tetapi tetap nanti-nanti, berfaedah cinta bumi kita tetap lebih besar dari cinta akhirat.

Orang nan cinta akhirat, dia bakal melakukan amalan-amalan, sehingga lantaran itu, Allah pun mencintainya. Karena cintanya lebih besar kepada akhirat, silam dunianya diisi dengan amalan-amalan alambaka dan jika pun beraktifitas dunia, tujuannya untuk mencari rida Allah, lagi-lagi untuk akhiratnya. Dia berbisnis, berbisnis untuk dapat uang, kerja jadi pegawai, dapat duit gunanya untuk apa. Kalau seandainya sudah menikah, untuk nafkah, sedekah, zakat. Dia berambisi seandainya jadi kaya, dia bisa pergi haji, tujuannya untuk akhirat.

Zuhud terhadap apa nan di tangan manusia. Dia tidak peduli dengan apa nan di tangan manusia. Dia tidak berambisi apa-apa dengan sesuatu nan ada di tangan manusia. Mengapa itu menjadi lantaran manusia mencintainya? Karena bumi itu hijau dan manis. Dilihat enak, dirasa juga enak. Dirindukan dan diinginkan pecinta dunia. Maka, ketika kita zuhud terhadap nan mereka miliki dan meninggalkan apa nan mereka cintai dan tidak ikut saingan, maka kita dicintai oleh masyarakat dunia.

Mengapa orang tidak suka jika kita menginginkan sesuatu nan di tangannya? Karena kita menjadi saingannya. Kita seolah menjadi saingannya, bakal merebut apa nan semestinya menjadi miliknya lantaran kecintaan seorang terhadap dunia. Dalam hadis, “Siapa nan tidak minta kepada Allah, maka Allah bakal murka kepadanya.” Allah Ta’ala tidak senang jika kita tidak meminta. Sebaliknya manusia tidak suka jika dimintai apa nan di tangannya. Maka, jika kita tidak menginginkan apa nan di tangan manusia, maka manusia bakal mencintai kita.

Makna zuhud

Makna zuhud secara bahasa adalah beranjak dari sesuatu sebagai corak merendahkannya, seperti ungkapan, “syai’un zahidun” artinya sedikit. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil nan legal sesuai dengan kebutuhan. Zuhud pada bumi secara syar’i artinya membenci apa nan tidak berfaedah untuk akhirat. Dan meninggalkan apa nan tidak berfaedah untuk akhiratnya.

Banyak ustadz menafsirkan zuhud terhadap bumi berasas riwayat Imam Ahmad dari Abu Idris Al-Khaulani, nan mengatakan, “Zuhud terhadap bumi bukanlah mengharamkan nan legal dan tidak pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap bumi adalah lebih meyakini apa nan di sisi Allah daripada apa nan di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berambisi untuk mendapatkan pahala dan simpanannya jika tetap tersisa untukmu.” Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jangan bersaksi atas kezuhudan seseorang, lantaran zuhud itu tempatnya di dalam hati.” Zuhud disimpulkan dalam 3 perihal nan semuanya merupakan ibadah hati.

Tiga penafsiran zuhud, yaitu:

Pertama: Lebih meyakini apa nan ada di sisi Allah daripada apa nan ada di tangannya. Ini tentu tumbuh dari kepercayaan nan benar, dan percaya bakal agunan Allah atas rezeki setiap hamba-Nya.

Kedua: Apabila seorang hamba tertimpa musibah dalam urusan dunia, seperti hilangnya kekayaan peralatan namalain anak, maka dia lebih berambisi bakal mendapatkan pahala atas musibah tersebut. Ini juga berasal dari kepercayaan nan sempurna, dan menunjukkan kezuhudan terhadap bumi dan sedikitnya ambisi duniawi.

Ibnu Umar meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau membaca sebuah doa,

اللَّهُمَ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ مَعَاصِيْكَ ,وَ مِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُكَ بِهِ جَنَّتَكَ ,و مِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبِ الدّنْيَا

“Ya Allah, jadikanlah untuk kami bagian dari rasa takut kepada-Mu, nan dapat menghalangi kami dari kemaksiatan. Jadikanlah untuk kami bagian dari ketaatan kepada-Mu nan dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu. Jadikanlah untuk kami bagian dari rasa kepercayaan nan dengannya Engkau meringankan kami dalam menghadapai beragam musibah dunia.”

Ketiga: Baik pujian maupun hinaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh dalam kebenaran. Ini merupakan salah satu tanda zuhud, meremehkan, dan tidak berambisi kepadanya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridaan manusia dengan langkah nan membikin Allah murka.”

Berikut beberapa penafsiran para ustadz tentang zuhud:

Hasan Al-Basri berkata, “Orang zuhud adalah jika dia memandang orang lain, dia berkata, ‘Ia lebih baik dariku.’”

Wahab bin Ward berkata, “Zuhud adalah hendaklah Anda tidak putus asa atas kehilangan dunia, dan tidak senang ketika mendapatkannya.”

Sufyan bin Uyainah berkata, “Orang zuhud adalah (orang yang) jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, dia bersabar.”

Imam Ahmad berkata, “Zuhud di bumi adalah pendek khayalan dan tidak serakah terhadap kekayaan orang lain.”

Tingkatan zuhud

Secara umum, ustadz membagi zuhud menjadi 3:

Pertama: Zuhud terhadap syirik dan berakidah kepada selain Allah.

Kedua: Zuhud terhadap perkara-perkara nan diharamkan.

Ketiga: Zuhud terhadap nan halal.

Imam Ahmad rahimahullah beranggapan bahwa zuhud terbagi dalam 3 bentuk:

Pertama: Meninggalkan nan diharamkan. Ini adalah zuhud orang-orang awam.

Kedua: Meninggalkan nan halal, bakal tetapi melampaui kebutuhan. Ini adalah zuhud orang khusus.

Ketiga: Meninggalkan sesuatu nan dapat memalingkan dari Allah. Ini adalah zuhudnya ‘arifin (orang nan memahami aliran Islam secara sempurna)

Sedangkan Syekh Shalih Abdullah bin Hamd Al-‘Ushaimiy ghafarallaulahu beranggapan dalam syarah sabda ini dengan berbincang bahwa zuhud mempunyai 4 tingkatan sifat, yaitu:

Pertama: Zuhud terhadap perkara haram;

Kedua: Zuhud terhadap perkara makruh;

Ketiga: Zuhud terhadap perkara musytabihat / syubhat nan belum jelas bagi orang itu;

Keempat: Zuhud terhadap perkara nan boleh nan melampaui apa nan dibutuhkan.

Dan beliau berkata, “Zuhud mencakup dalam 4 perkara itu, dan seumpama salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak namalain belum dikatakan namalain tidak termasuk sebagai zuhud.”

Pemahaman keliru tentang zuhud

Pemahaman tentang zuhud nan beredar di antara kita, di antaranya ada nan keliru namalain tidak sesuai aliran Islam. Pemahaman tentang zuhud nan tidak betul adalah memalingkan diri secara keseluruhan dari nikmat-nikmat Allah dan menganggapnya rendah. Serta menahan diri dari menikmati nikmat-nikmat itu, walaupun sedikit.

Zuhud nan salah ini dianut oleh sebagian kaum muslimin pada masa Daulah Abbasiyah ketika melemah. Mereka memakai busana compang-camping, tidak bekerja, dan mereka hidup dari kebaikan dan infak orang lain. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang zuhud. Padahal, Islam menolak pandangan nan salah ini, melarang bersikap hina, dan berpangku tangan.

Kaum muslimin dewasa ini sudah terbebas dari langkah pandang nan salah tentang zuhud ini. Karena mereka semangat bekerja dan mencari nan halal, berlomba-lomba meraih untung dan memakmurkan bumi sehingga ada kekhawatiran melalaikan kehidupan akhirat. Karenanya, kita kudu mencari sarana nan bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan membawa kita kepada sikap zuhud. Agar kita selamat dari rayuan setan dan tidak terlena dengan dunia.

Demikian tulisan kami mengenai ibadah untuk meraih cinta Allah Ta’ala. Semoga bermanfaat.

الله أعلم بالصواب

Allahu A’lam bis-shawab

***

Penulis: Refnadi Ferdiantoro

Artikel: KincaiMedia

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027