ARTICLE AD BOX
Penting untuk disadari, orang tua adalah panutan nan krusial bagi anak. Apa nan dilakukan orang tua di rumah di rumah bakal menjadi role model bagi anak ketika bersosialisasi. Itu sebabnya, krusial untuk mencontohkan perilaku baik pada anak-anak.
Cara orang tua mengatasi suatu masalah namalain mengatur emosi dapat memengaruhi perilaku anak di kemudian hari. Begitu pula dengan apa nan orang tua makan, seberapa banyak mereka berolahraga, langkah mereka menjaga diri sendiri, dan langkah memperlakukan orang lain, semuanya memengaruhi anak.
Apa nan orang tua katakan juga penting. Dikutip dari laman Raising Children, orang tua dapat membantu anak berperilaku positif dengan berbincang tentang gimana perilaku memengaruhi orang lain. Kita juga dapat berbincang dengan anak tentang perbedaan antara betul dan salah.
Orang tua kudu mengikuti perkembangan perilaku anak-anak. Termasuk jika Bunda mau membentuk anak-anak menjadi manusia nan bertanggung jawab, baik, dan produktif. Harus memberikan contoh sikap nan sama ketika di rumah.
Jangan sampai kebiasaan orang tua di rumah menyebabkan perilaku jelek pada anak. Orang tua mungkin mengatakan perihal nan salah kepada anak-anak namalain bereaksi jelek terhadap sesuatu nan mereka lakukan. Di waktu lain, Bunda dan Ayah juga memperlakukan namalain menangani situasi dengan orang lain, seperti pasangan, di depan anak-anak kita.
Beberapa langkah perlu dihindari sebelum terlambat. Berikut simak apa saja kesalahan orang tua nan dapat membentuk tujuh perilaku jelek anak berikut ini!
1. Membentak
Marah adalah emosi nan alami dan dapat diluapkan saat merasa stres namalain tertekan. Kita semua pernah mengalaminya juga. Seperti misalnya saat orang tua sedang terburu-buru memenuhi tenggat waktu pekerjaan, pekerjaan rumah nan tak ada habisnya. Tidak mengherankan jika kesabaran orang tua menipis dan kehilangan kesabaran.
Namun, marah-marah dan membentak pasangan bisa membikin anak-anak menirunya. Mereka memperhatikan gimana kita berperilaku saat stres, jadi lebih memperhatikan gimana kita bereaksi dalam momen-momen nan membikin stres.
“Anak-anak mengawasi saat kita bereaksi terhadap stres, konflik, tekanan, namalain kelelahan, membentak personil keluarga, pasangan, dan suami/istri kita,” kata psikolog klinis Claire Nicogossian, nan juga seorang asisten pembimbing besar psikiatri klinis di Universitas Brown.
“Pada gilirannya, mereka mulai menginternalisasi namalain belajar gimana menanggapi dan bereaksi dalam situasi nan serupa,” katanya dikutip dari Huffington Post.
2. Berteriak saat menyelesaikan konflik
Selisih pendapat dengan suami adalah perihal nan sangat wajar. Namun, emosi nan tak terkontrol membikin percakapan condong berubah menjadi adu mulut, nan tidak baik untuk pasangan namalain anak-anak mereka.
“Penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa saat orang tua saling berteriak, anak-anak mereka menjadi cemas,” kata psikolog klinis Laura Markham., penulis “Peaceful Parent, Happy Kids.”
“Itu juga bukan perihal nan mau kita contohkan kepada anak-anak kita tentang langkah mengekspresikan kebutuhan kita namalain langkah menyelesaikan konflik.”
3. Tidak mau minta maaf
Terkadang, anak-anak bakal memandang orang tuanya berantem dan saling meninggikan suara. Ketika ini terjadi, sangat krusial bagi orang tua untuk berbaikan di depan mereka juga, Bunda.
“Jika Anda dapat memperbaiki keadaan setelah membentak pasangan Anda, itu ideal,” kata Markham. “Tetapi apalagi jika itu terjadi keesokan harinya, pastikan untuk memberi tahu anak-anak Anda bahwa Anda telah menyelesaikan situasi tersebut.”
4. Menyalahkan dan tidak bertanggung jawab
Ketika anak memandang orang tua bersikap melindungi dan saling menyalahkan alih-alih mengakui kesalahan. Menurut Nicogossian kondisi itu mengirimkan pesan pada anak seolah-olah, “Saya bisa melakukan perihal nan sama."
Dalam konflik, menemukan kebenaran bisa menjadi perihal nan menantang. Oleh lantaran itu, mendengarkan perspektif pandang setiap orang dan berupaya menyelesaikan berantem kudu menjadi prioritas dibandingkan kebutuhan untuk menjadi ‘benar’ namalain ‘menang’ selama konflik.
5. Berdiam diri saat frustrasi
Usahakan selalu berkomunikasi namalain menyebut apa nan dibutuhkan daripada berdiam diri saat merasa frustrasi. Menurut psikolog klinis Jazmine McCoy, untuk menjadi orang tua nan lebih bahagia, maka komunikasikan namalain bicarakan hal-hal apa saja nan dibutuhkan. Misalnya support semangat, support finansial, dan lain sebagainya.
6. Melontarkan perkataan nan menyakitkan
Kebiasaan jelek lain nan sering tak disadari kedua orang tua saat berkonflik dan dapat ditiru anak adalah melontarkan perkataan nan menyakitkan dan mengundang rasa malu. Selama konflik, hindari bahasa nan ekstrem dan menyatukan banyak situasi menjadi satu pernyataan. Misalnya, "Kamu enggak pernah sayang sama aku!"
7. Standar ganda
Menurut psikolog anak dan pembimbing orang tua Ann-Louise Lockhart, ini mungkin terlihat seperti orang tua nan memberi tahu anak-anak mereka untuk tidak menyela, berteriak, namalain menggunakan bahasa nan menyakitkan kepada orang lain sementara perihal tersebut tidak bertindak pada anak lain.
“Standar dobel tersebut membingungkan anak-anak dan membentuk ekspektasi nan sangat berbeda dari nan dinyatakan,” kata Lockhart, pemilik klinik Psikologi Pediatrik A New Day.
Apakah selalu salah orang tua?
Ada kalanya orang tua sudah merasa melakukan nan terbaik. Sudah sebisa mungkin lembut dan penuh kasih dalam mendidik anak, tapi kok anak tetap berperilaku buruk? Apakah ini selalu salah orang tua?
“Jika saya dapat memberikan perspektif kepada orang tua: Terimalah kesalahan orang tua. "Hal itu tidak dapat dihindari dan memberikan kesempatan untuk tumbuh dan belajar, itulah langkah kita mengembangkan skill dalam mengasuh anak," kata psikolog klinis Claire Nicogossian, asisten pembimbing besar psikiatri dan perilaku manusia di Universitas Brown.
Sejatinya, melakukan salah, termasuk berperilaku jelek adalah salah satu proses pembelajaran anak dalam tumbuh kembangnya. Tentu, kita sebagai orang tua mau mendidik mereka menjadi jenis nan lebih baik.
Akan tetapi, mengasuh anak-anak kita sesuai dengan persyaratan, keinginan, namalain standar kita sendiri tentang gimana segala sesuatu “seharusnya” sering kali menghalangi mereka untuk mengembangkan rasa diri nan kuat. Kita, sebagai orang tua bisa menghalang produktivitas dan dorongan bawaan mereka.
Terlebih lagi, kita mungkin secara tidak sadar menyampaikan pesan bahwa mereka hanya bakal mendapatkan cinta kita dengan menjadi seperti kita.
Begitu anak-anak mencapai usia sekolah (dan bagi sebagian besar dari kita, apalagi lebih sigap lagi), mereka berada jauh dari kita berjam-jam dalam sehari. Kita mempunyai lebih sedikit kendali atas hal-hal dan orang-orang, serta perilaku nan mereka ikuti.
Tidak mudah untuk mengakui bahwa setiap tindakan anak-anak kita bukanlah hasil langsung dari sesuatu nan telah kita katakan, lakukan, namalain ajarkan. Juga tidak mudah untuk memberi mereka kebebasan untuk membikin beberapa pilihan mereka sendiri.
"Akan ada saat-saat ketika mereka salah. Namun krusial untuk diingat bahwa kegagalan tersebut sebenarnya bukanlah kegagalan, tetapi bagian dari proses belajar, tumbuh, dan menjadi diri sendiri. Terkadang perihal itu mungkin membikin kita (orang tua) malu. Namun, perihal itu juga bakal membikin kita bangga," kata Peggy Drexler, Ph.D. adalah seorang psikolog peneliti, asisten pembimbing besar pengetahuan jiwa di Weill Medical College, Cornell University, dikutip dari Psychology Today.
Demikian ulasan mengenai kebiasaan jelek orang tua nan bisa memengaruhi perilaku anak di kemudian hari. Hindari sejak sekarang agar anak tidak bertabiat buruk.
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)