Zuhud Terhadap Akhirat: Alasan Kamu Dipanggil Alim, Padahal Cuma Salat 5 Waktu

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Mungkin Anda pernah merasa heran ketika berada di tongkrongan namalain lingkungan sosial lainnya, lantaran Anda bisa digelari “alim” namalain “saleh” cukup dengan salat 5 waktu setiap hari dan bisa mengaji, meskipun Anda tidak merutinkannya. Teman-temanmu mungkin bakal lebih heran, mempertanyakan kenormalanmu, hingga memanggilmu ustaz (baik serius maupun bercanda) ketika mengetahui komitmenmu untuk tidak merokok, tidak pacaran, namalain menjauhi PMO (porn, masturbation, orgasm), meskipun mereka tahu alasanmu murni lantaran pertimbangan duniawi, dan bakal lebih getol lagi jika rupanya nan menjadi pertimbanganmu adalah aspek agama.

Fenomena sosial ini sudah dirasa lumrah, khususnya pada kalangan muda akhir-akhir ini. Salah satu aspek nan mungkin menjadi argumen di baliknya adalah kondisi kebanyakan masyarakat, terutama pemuda nan zuhud terhadap akhirat. Tulisan ini bakal mengulas aspek ini, mulai dari akar pengaruhnya secara personal, hingga sebagian dampaknya pada pergaulan sosial.

Zuhud nan kita kenal

Zuhud terhadap alambaka berbeda dengan konsep zuhud nan banyak dipahami selama ini, adalah zuhud terhadap dunia. Secara bahasa, zuhud berfaedah meninggalkan. Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan pengertian zuhud dengan mengatakan,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَا لاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ

“Zuhud (terhadap dunia) adalah meninggalkan segala perihal nan tidak berfaedah bagi akhirat.” [1]

Imam Al-Junaid rahimahullah menggambarkan kondisi orang nan zuhud dengan menjelaskan,

فَالزَّاهِدُ لَا يَفرَح مِن الدُّنيَا بِمَوجُودٍ وَلَا يَأسَف مِنهَا عَلَى مَفقُودٍ

“Orang nan zuhud tidak berbahagia lantaran mempunyai dunia, dan tidak bersungkawa lantaran kehilangan dunia.” [2]

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, zuhud adalah sebuah sikap hidup nan tidak mempunyai minat dan kebutuhan berlebih pada suatu perkara. Alhasil, zuhud terhadap bumi adalah sikap meninggalkan namalain tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara bumi nan tidak membuahkan kemaslahatan di akhirat.

Selanjutnya, zuhud merupakan ibadah hati, sehingga kita tidak kudu menjadi miskin dulu untuk bisa zuhud terhadap dunia. Niatkan segala ikhtiar kita dalam mencari perkara duniawi nan legal untuk mencapai kemaslahatan akhirat. Dengan menjadikan bumi berada di tangan, bukan di hati, kita bisa menjadi seorang nan zuhud terhadap dunia, walaupun kita hidup berkecukupan.

Ibrahim bin Adham rahimahullah membagi zuhud terhadap bumi menjadi 3 jenis, yakni: zuhud fardhu, zuhud fadhl, dan zuhud salamah. [3]

Kita wajib menerapkan zuhud fardhu dan zuhud salamah lantaran keduanya berangkaian dengan pemisah syariat, dan bakal semakin baik jika turut mengamalkan zuhud fadhl.

Zuhud terhadap akhirat

Zuhud terhadap alambaka adalah sikap meninggalkan namalain tidak berminat, dan merasa tidak butuh pada perkara akhirat. Sikap ini berkebalikan dengan zuhud terhadap dunia.

Sebagaimana zuhud terhadap bumi bisa dijalani tanpa kudu hidup melarat, demikian pula zuhud terhadap akhirat, bertindak sebaliknya. Sedihnya, banyak orang nan bisa zuhud terhadap alambaka tanpa kudu menjadi orang kaya. Faktanya, tak mesti jadi konglomerat dulu untuk melupakan akhirat.

Syekh Dr. Ahmad Farid hafidzahullah menyampaikan norma pembeda antara orang nan zuhud terhadap bumi dan orang nan zuhud terhadap akhirat,

كُلُّ مَن بَاعَ الدُّنيَا بِالآخِرَةِ فَهُوَ زَاهِدٌ فِي الدُّنيَا , وَكُلُّ مَن بَاعَ الآخِرَةَ بِالدُّنيَا فَهُوَ زَاهِدٌ أَيضًا , وَلَكِن فِي الآخِرَةِ

“Siapa saja nan rela menjual dunianya untuk akhirat, maka dia seorang nan zuhud terhadap dunia. Dan siapa saja nan rela menjual akhiratnya untuk dunia, dia juga seorang nan zuhud, namun terhadap akhirat.” [4]

Apabila kita merujuk pada norma ini, maka dapat kita katakan bahwa semua manusia adalah mahir zuhud. Pertanyaannya, zuhud jenis manakah nan ada pada diri kita selama ini?

Bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat

Untuk menggambarkan bentuk-bentuk zuhud terhadap akhirat, kita bisa membandingkannya dengan zuhud terhadap bumi dalam beberapa parameter berikut,

*indikator bukan batasan. [5]

Ringkasnya, orang nan zuhud terhadap alambaka tidak mempunyai atensi dan antusiasme terhadap kebaikan saleh, maupun segala perihal nan dapat mendatangkan kebaikan di alambaka kelak. Hal ini berbanding terbalik dengan orang nan zuhud terhadap dunia.

Masyarakat nan zuhud bakal akhirat

Intisari zuhud terhadap alambaka adalah kurangnya minat dan kebutuhan bakal perkara nan dapat mendatangkan kebaikan di akhirat. Salah satu indikasi seorang nan mengalaminya adalah standar ideal kebaikan salehnya nan rendah, baik secara jumlah maupun kualitas. Alhasil, wajar saja seumpama muncul keheranan ketika muncul orang nan memenuhi kewajibannya dalam beragama, di tengah mereka (para mahir zuhud terhadap akhirat) nan meninggalkan tanggungjawab tersebut.

Sedihnya, realitas menunjukkan bahwa orang nan zuhud terhadap alambaka bukan hanya satu orang namalain satu family saja. Fenomena ini sudah menyatu ke dalam sendi masyarakat. Demikianlah awal terbentuknya standar ideal kebaikan nan minimalis, berbanding terbalik dengan tingginya standar untuk menjadi “orang” di muka dunia. Lantas, lahirlah banyak label “alim”, “saleh”, maupun “ustaz” di bawah standar norma nan sebenarnya. Sekali lagi, baik perihal itu muncul dalam konteks serius maupun bercanda.

Sikap kita

Mungkin Anda merasa bahwa amalmu itu bukan standar untuk mendapat gelar-gelar di atas, melainkan sebatas batas minimum untuk menjadi muslim nan normal, muslim nan sudah selesai dengan dirinya sendiri lantaran memenuhi kegunaan eksistensinya untuk menghamba kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan hantu dan manusia, selain untuk berakidah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Tetap istikamah, bersabar, dan bercengkrama dengan hikmah. Kita tidak diberi tugas untuk berdalam-dalam menyalahkan keadaan. Mungkin di kembali bumi nan sedang tidak baik-baik saja, Allah mau memberi ganjaran terbaik untukmu dengan menjadi jalan hidayah untuk mereka nan belum terbiasa melangkah di atas jalan kebaikan.

***

Penulis: Reza Mahendra

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

[1] Madarijus Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 3: 138. (Sumber: di sini)

[2] Madarijus Salikin, 2: 10, Darul Kitab Al-Arabiy, Syamilah. (Sumber: di sini)

[3] Tazkiyatun Nufus, hal. 67, Darul Qalam Beirut

[4] Ibid

[5] Dihimpun dari perkataan Yunus bin Maisarah rahimahullah dalam kitab Tazkiyatun Nufus, hal. 65; Darul Qalam Beirut. Penulis menambahkan beberapa poin parameter berasas penjelasan nukilan-nukilan sebelumnya).

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027