ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, BEIJING -- Ketika Mongol menguasai Cina, kaum sufi mendapat tempat nan terhormat. Betapa tidak, para syekh sufi diberi kedudukan nan berpengaruh dalam pemerintahan. Menurut John L Esposito, pengaruh para syekh sufi di ranah birokrasi berkurang setelah kekuasaan Mongol jatuh pada 1368 M.
"Akibatnya, kaum Muslim kudu berasosiasi secara penuh dengan masyarakat Cina,'' papar pembimbing besar Studi Islam Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu. Meski begitu, pada era itu, tarekat-tarekat sufi tetap berkembang dalam skala nan mini di negeri nan sekarang berjuluk Tirai Bambu itu.
Memasuki pertengahan abad ke-17 M, tepatnya pada 1644, orang-orang Manchu membentuk Dinasti Qing. Dinasti ini memperluas wilayahnya hingga menguasai sepertiga wilayah Islam di Asia Tengah. Pada masa itu, di wilayah Xinjiang berkembang Tarekat Naksabandiyah nan dibawa oleh Ishaq Wali.
Syekh Naksabandiyah di wilayah Xinjiang, Ma Mingxin (wafat 1781) sempat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sang syekh juga menyempatkan diri untuk menuntut pengetahuan di Bukhara dan Yaman sebelum akhirnya kembali lagi ke Cina pada 1761.
Ma Mingxin termasuk penganut Tarekat Naksabandiyah bergolongan Jahriyah nan suka melakukan zikir dengan lisan. Popularitas aliran tarekat itu bisa melampaui Khufriyah. Antara kedua tarekat nan ada di Xinjiang itu pun terdapat perbedaan sikap politik.
Khufriyah menudh Jahriyah telah menghasut dan membantu pemerintah Qing untuk meredam pemberontakan dan perjuangan rakyat pada 1781. Pada 1871, Tarekat Naksabandiyah Jahangir memimpin sebuah aktivitas pembebasan untuk melawan kekuasaan Dinasti Qing di tanah kaum Muslim itu.
Gerakan perlawanan itu mereka beri nama perang jihad melawan kekuasaan Qing. Namun, upaya itu kandas lantaran terjadi berantem internal di kalangan umat Islam dan tarekat tasawuf. Pada 1862, kembali lagi terjadi pemberontakan melawan Dinasti Qing di Shanxi dan Gansu.
Namun, pemberontakan itu kembali gagal. Bahkan, faksi pemberontak nan dipimpin Ma Zhan'ao, pengikut Khufi Naksabandiyah, menyerahkan diri kepada penguasa Qing. Perlawanan terhadap Dinasti Qing kembali muncul. Adalah Rasyidin Khan Khawajah di Kucha dan Mujahidin Abd al-Rahman di Yarkand nan menggelorakan Jihad Naksabandiyah.
Perlawanan dan aktivitas politik Naksabandiyah telah memberi inspirasi bagi revolusi Jin Xiangyin dan pemimpin Kirgistan, Shiddiq Beg di Kashgar. Selain itu, juga telah memberi inspirasi bagi Tuo Ming di Urumchi pada tahun nan sama.
Memasuki abad ke-20 M, pengaruh politik tarekat-tarekat di Cina mulai berkurang. Pada era itu, Tarekat Naksabandiyah sempat memperoleh kembali pengaruh nan cukup dalam pemerintahan melalui pemimpinnya Jahri Ma Zhenwu. Hingga akhirnya, dia dituduh pemerintah telah melakukan pemanfaatan pada 1958.
sumber : Dok Republika