Puncak Ma'rifat Syekh Abdul Qadir Jailani

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

KincaiMedia, JAKARTA -- Biografi merupakan salah satu jenis karya sastra nan berkembang di bumi Islam. Jejak dan perjalanan hidup Muhammad SAW nan begitu memukau telah mendorong para penulis Muslim untuk mengabadikannya dalam sebuah riwayat hidup nan dikenal sebagai As-Sirah an-Nabawiyyah.

Para sejarawan telah melakukan penelitian serta penelusuran terhadap masa-masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengumpulkan kembali puisi-puisi pra-Islam. Hal itu dilakukan untuk mengetahui gimana sesungguhnya kehidupan Rasulullah sampai akhirnya menerima wahyu dan menjadi Rasul.

Sarjana Muslim nan pertama kali menulis sejarah hidup Nabi Muhammad adalah Wahab bin Munabbih. Namun, As-Sirah an-Nabawiyyah nan paling terkenal ditulis oleh Muhammad bin Ishaq. Selain riwayat hidup Rasulullah SAW, para penulis Muslim juga banyak nan menulis tentang sejarah hidup para sahabat dan ustadz terkemuka nan pernah mewarnai bumi Islam.

Salah seorang ustadz nan mendapat perhatian para penulis riwayat hidup Muslim adalah Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Ulama nan diberi gelar Syekhul Islam oleh Imam Azzahabi itu memang sangat populer. Bahkan, bagi kebanyakan umat Islam di Indonesia, namanya biasa diucapkan dalam doa-doa nan mereka panjatkan.

Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jaelani nan terbilang spesial berjudul Nahr al-Qadiriyah. Betapa tidak, kitab riwayat hidup itu ditulis oleh cucunya sendiri nan hidup di abad ke-21. Adalah Sayyid Syarif Dr Muhammad Fadhil Jaelani al-Hasani at-Taelani al-Jimazraqi nan menulis jejak hidup ustadz terkemuka dari abad kelima Hijriah itu.

Dalam pembukaan kitabnya, Syekh Fadhil mengungkapkan, untuk mempelajari riwayat hidup salah seorang tokoh ustadz umat Islam ataupun seorang quthb sufi bukanlah perkara mudah. Alasannya, kata dia, dibutuhkan pembelajaran mendalam mengenai kepribadian ustadz tersebut, standar pemikiran nan elite untuk menjelajahi pemikiran-pemikiran, serta perlu merengkuh kedalaman makrifatnya.

"Seorang penulis juga dituntut untuk mengenali tujuan-tujuan Syekh Abdul Qadir, mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan mempelajari lingkungan-lingkungan ketika beliau hidup dengan segala kondisi nan meliputinya dan seberapa besar lingkungan tersebut memengaruhi beliau, seberapa besar pengaruh beliau terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya," tuturnya.

Selain itu, kata dia, peneliti juga kudu betul-betul mengetahui hasil-hasil dari itu semua dengan pemahaman sempurna dan detail, tidak terhenti pada pemahaman nan dangkal. Seorang penulis riwayat hidup ustadz terkemuka kudu secara dalam menyeberangi makna-maknanya sehingga sampai pada tujuan dan maksud nan diharapkan.

Syekh Fadhil telah mendedikasikan waktunya selama 30 tahun untuk meneliti jejak hidup kakeknya. Dengan penuh kesungguhan, dia meneliti lebih kitab-kitab karya Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Tak hanya itu, dia juga mempelajari pemikiran-pemikiran dan pendapatnya.

"Semua itu dilakukannya demi mencapai gambaran sempurna mengenai kepribadian unik beliau nan saat ini sangat jarang kita temukan," paparnya. Secara khusus, dia juga telah mempelajari dan menginvestigasi tafsir karya Syekh Abdul Qadir al-Jaelani nan berjudul Tafsir al-Jaelani.

Dalam kitab riwayat hidup itu, para pembaca bakal diajak untuk menelusuri kehidupan, tugas-tugas penting, para murid, serta panduan-panduang umum dan unik Syekh Abdul Qadir al-Jaelani. Bahkan, dalam kitab itu juga dipaparkan tentang pengaruh ustadz besar itu bagi generasi berikutnya, khususnya pengaruhnya bagi Salahuddin al-Ayyubi, pahlawan Islam nan sukses mengambil alih Masjidil Aqsha dari pasukan tentara Salib.

Menurut Syekh Fadhil, Syekh Abdul Qadir Jaelani telah datang menantang era nan saat itu dipenuhi dengan kerusakan di beragam aspek, baik corak maupun nonfisik, social, apalagi moral.  "Kondisi manusia kala itu seperti berada di ujung api  nan membakar," paparnya.

Bagi Syekh Fadhil, kehadiran Syekh Abdul Qadir Jaelani merupakan hidayah nan besar dari Allah SWT. "Beliau bisa mengembalikan kekokohan nilai-nilai keagamaan pada setiap jiwa manusia, mengarahkannya pada kebenaran absolut dan jalan nan lurus setelah menyatukan barisan, dan mengembalikan rasa toleransi antarkalangan awam dan khas."

Sehingga, kata dia, tertancap norma kerakyatan nan berbunyi, "Perdamaian mulai tersebar ke kalangan elite pemerintahan nan tersortir setelah generasi agung ketua Salahuddin al-Ayubi untuk memihak kejayaan umat dan membebaskan kesucian-kesuciannya serta mengembalikan kesatuan rakyat dan wilayah-wilayahnya."

Sang Arif Billah Ta'ala Syekh Abdul Qadir Jaelani dilahirkan di Naif Jaelani pada 470 H/1077 M. Orang Arab menyebutnya Jailani dan orang Prancis menyebutnya Kailani. Kota itu berada di Thabaristan. Jailani bukanlah kota-kota besar, melainkan perkampungan-perkampungan mini di antara pegunungan.

Ia terlahir pada akhir masa Kekhalifahan Abbasiyah, tepatnya pertengahan kedua abad kelima Hijriah. Syekh Abdul Qadir Jaelani tumbuh dan dibesarkan pada periode ketiga masa Kekhalifahan Abbasiyah. Ia dibesarkan dalam didikan sang kakek dari pihak ibu, Assayyid Abdullah Ashumu'ie ra.

Syekh Abdul Qadir mempunyai seorang kerabat laki-laki. Menurut Ibnu al-Ammad al-Hanbali dalam kitab Swarwadzat Addzahab, adik laki-lakinya itu berjulukan Abdullah, seorang anak saleh nan hidup di Jaelan dan meninggal ketika tetap remaja.

Syekh Abdul Qadir tumbuh besar menjadi seorang nan abid, saleh, bertakwa, zuhud dalam keduniaan, mengutamakan akhirat, serta gigih mengenali dasar norma dan cabang-cabangnya, pengantar, dan produk-produknya.

Konon, Syekh Abdul Qadir dilahirkan ketika ibunya berumur enam puluh tahun. Biasanya, wanita berumur enam puluh tahun tidak mengandung lagi selain wanita bangsa Quraisy, dan wanita berumur lima puluh tahun juga tidak mengandung lagi selain wanita bangsa Arab.

sumber : Dok Republika

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027