ARTICLE AD BOX
Prinsip pertama: Mencegah dan melarang kezaliman
Pengertian zalim
Zalim secara bahasa adalah meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempatnya secara melampaui batas. [1]
Di dalam kitab ‘Umdatul Khuffadz (3: 13) disebutkan, “(Zalim adalah) meletakkan sesuatu tidak sesuai dengan tempat nan unik baginya, baik dengan mengurangi namalain menambah, baik dengan melampaui waktu namalain tempatnya.”
Adapun makna sadis menurut norma adalah melakukan perkara nan dilarang namalain meninggalkan kewajiban. Semua nan melampaui pemisah norma adalah kezaliman nan terlarang, baik dengan menambah ataupun mengurangi. [2]
Kezaliman dalam muamalah
Syariat ilahiyah sepakat tentang wajibnya setara dalam segala sesuatu dan atas semua orang; dan haramnya kezaliman dalam segala sesuatu dan atas semua orang. Oleh lantaran itu, Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan berdampingan mereka Al-Kitab dan al-mizan (neraca keadilan) untuk menegakkan keadilan dalam memenuhi hak-hak-Nya dan juga hak-hak hamba-Nya. [3]
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nan nyata dan telah Kami turunkan berdampingan mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Untuk menguatkan wajibnya melakukan setara dan haramnya perbuatan zalim, Allah Ta’ala mengharamkan kezaliman untuk Diri-Nya terlebih dulu, kemudian menjadikannya haram di antara manusia. Allah Ta’ala berfirman dalam sabda qudsi,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
“Waha hamba-Ku, sesungguhnya saya telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim no. 2577)
Maka kezaliman itu diharamkan atas semua perkara, sebagaimana keadilan itu diwajibkan atas semua perkara. [4] Tidak legal atas seorang pun untuk menzalimi orang lain, baik muslim ataupun kafir. [5] Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Wahai orang-orang nan beriman, hendaklah Anda menjadi orang-orang nan selalu menegakkan (kebenaran) lantaran Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong Anda untuk bertindak tidak adil. Berlaku adillah, lantaran setara itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Hal ini lantaran kezaliman adalah asas semua kerusakan, sedangkan keadilan adalah asas semua kebaikan dan keberuntungan. Dengan keadilan, terwujudlah maslahat bagi hamba, baik di kehidupan bumi maupun akhirat, sehingga manusia tidak mungkin bisa lepas keadilan. [6] Selain itu, keadilan adalah tanggungjawab dan ketaatan nan paling wajib dan paling ditekankan. [7]
Karena transaksi muamalah dan jual beli merupakan celah terjadinya kezaliman di antara manusia dan menyantap kekayaan orang lain dengan batil, maka mencegah dan mengharamkan kezaliman merupakan salah satu tujuan norma nan paling krusial dalam bab muamalah. Dan sebaliknya, mewujudkan keadilan merupakan salah satu norma norma nan paling dan paling krusial agung dalam bab muamalah. [8]
Dalil Al-Qur’an
Terdapat banyak dalil dari norma nan memerintahkan melakukan adil, melarang melakukan zalim, dan melarang menyantap kekayaan orang lain secara batil. Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian Anda menyantap kekayaan sebagian nan lain di antara Anda dengan jalan nan batil dan (janganlah) Anda membawa (urusan) kekayaan itu kepada hakim, agar Anda dapat menyantap sebagian dari kekayaan peralatan orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal Anda mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang nan beriman, janganlah kalian saling menyantap kekayaan sesamamu dengan jalan nan batil, selain dengan jalan perniagaan nan bertindak dengan suka sama-suka (saling rida) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29)
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
“Daud berkata, “Sesungguhnya dia telah melakukan sadis kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang nan berserikat itu sebagian mereka melakukan sadis kepada sebagian nan lain, selain orang-orang nan berakidah dan mengerjakan kebaikan nan saleh; dan banget sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Ayat-ayat nan semakna dengan ini sangatlah banyak, lantaran semua nan Allah larang itu kembali pada kezaliman. [9]
Dalil As-Sunah
Adapun dalil dari As-Sunah, dalil-dalil nan menunjukkan haramnya kezaliman dalam muamalah juga sangat banyak. Di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, kekayaan kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (tidak boleh dilanggar) di antara kalian, seperti haramnya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari no. 67 dan Muslim no. 1679)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟
“Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, silam buah itu terkena musibah (kerusakan), maka tidak legal bagimu mengambil darinya sesuatu. Dengan argumen apa engkau mengambil kekayaan saudaramu tanpa hak?” (HR. Muslim no. 1554)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim itu haram atas muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)
Dalil ijmak
Di antara dalil wajibnya mencegah kezaliman dan wajibnya mewujudkan (menegakkan) keadilan adalah ijmak ustadz tentang haramnya mengambil kekayaan orang lain atas dasar kezaliman dan permusuhan. [10]
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, semua corak nan dilarang dalam transaksi muamalah, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, pada hakikatnya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman. [11] Contohnya, norma mengharamkan riba dan maisir (perjudian), lantaran mengandung kezaliman dan menyantap kekayaan orang lain secara batil. Demikian pula, norma banyak melarang corak jual beli tertentu, lantaran mengandung kezaliman, contohnya: menjual di atas jualan saudaranya, ghabn (manipulasi harga, baik terlalu tinggi namalain terlalu rendah menurut standar nilai pasar), ghisy (penipuan), dan corak jual beli lainnya. [12]
Contoh penerapan dalam transaksi muamalah
Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh janji muamalah nan haram lantaran mengandung unsur kezaliman, baik sadis terhadap perseorangan tertentu namalain masyarakat secara umum. [13]
Contoh pertama, jual beli peralatan nan diharamkan oleh syariat. Misalnya, jual beli khamr, babi namalain nan mengandung babi, jual beli narkoba, dan jual beli rokok.
Contoh kedua, jual beli peralatan secara terpaksa. Karena di antara syarat sah jual beli adalah kedua belah pihak nan melakukan transaksi, adalah penjual dan pembeli, kudu saling rida ketika melakukan akad, tidak boleh ada unsur keterpaksaan. Hal ini berasas surah An-Nisa’ ayat 29 nan telah kami sebutkan di atas. Meskipun demikian, terdapat beberapa corak jual beli terpaksa nan diperbolehkan. Misalnya, seorang pengadil (qadhi) nan memerintahkan orang nan jatuh pailit untuk menjual asetnya dalam rangka melunasi utang-utangnya. Atau pemerintah boleh memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya nan bakal digunakan untuk proyek akomodasi umum, seperti jalan raya, rumah sakit, namalain nan lainnya.
Contoh ketiga, jual beli nan mengandung unsur kecurangan (ghisy). Misalnya, dengan mengurangi timbangan namalain takaran; penjual menyembunyikan abnormal (aib) peralatan nan dijual; dan penjual memalsukan merk produk (menjual peralatan tiruan namalain melanggar kewenangan cipta).
Contoh keempat, ihtikar (menimbun barang). Bentuknya, seseorang membeli bahan-bahan pokok dari pemasok (pemasok), kemudian ditimbun sampai peralatan tersebut menjadi langka pasaran. Ketika peralatan menjadi langka, tentu nilai peralatan tersebut bakal naik sangat tinggi, dan ketika itulah mereka menjualnya. Dengan demikian, mereka memperoleh untung nan sangat besar. Jelaslah perbuatan ini menzalimi masyarakat banyak lantaran menyebabkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
“Ihtikar tidaklah dilakukan selain seorang pendosa.” (HR. Muslim no. 1605)
Contoh kelima, praktek korupsi. Korupsi bakal menzalimi orang banyak. Misalnya, korupsi pada objek-objek vital seperti jalan dan jembatan, sehingga kualitas pekerjaan tidak baik dan tidak memenuhi standar lantaran anggaran nan dikorupsi.
[Bersambung]
***
@16 Jumadil akhir 1446/ 18 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 641; Lisanul ‘Arab, 12: 373.
[2] Lihat Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hal. 537; Adz-Dzari’ah ila Makaarim Asy-Syari’ah, hal. 357; Tahdzib Al-Asma’ Al-Lughat, 3: 8; Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157; Thariq Al-Hijratain, hal. 333.
[3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 263.
[4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 30: 237-240.
[5] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 166; Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 36.
[6] Lihat Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 255; Al-Fawaid, hal. 253; Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafati As-Sa’di, 5: 293.
[7] Lihat Bada’i At-Tafsir Al-Jami’ li Tafsir Ibnil Qayyim, 4: 391. Dikutip dari Al-Jawaab Al-Kahfi, hal. 190.
[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 469; Ahkamul Qur’an li Ibnil ‘Arabi, 1: 97; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 48.
[9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 18: 157.
[10] Lihat Maraatib Al-Ijma’, hal. 67.
[11] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 126-127, 165; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283, 28: 385, 18: 157.
[12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 283; Tafsir Al-Manar, 2: 196.
[13] Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bab II (Harta Haram Hasil Kezaliman); karya Dr. Erwandi Tarmizi, MA.