Panduan Menikah Dengan Pasangan Yang Sekufu (bag. 3)

Sedang Trending 9 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Kriteria al-kafa’ah nan dipertimbangkan dalam syariat

Hadis kedua dan ketiga menunjukkan bahwa nasab (keturunan) dan juga pekerjaan bukanlah kriteria nan dipertimbangkan untuk menentukan al-kafa’ah. Adapun dalil-dalil norma nan lain menunjukkan bahwa kriteria utama nan perlu dipertimbangkan adalah al-kafa’ah dalam masalah kepercayaan dan etika seseorang, bukan kriteria nan lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan Anda dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan Anda berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar Anda saling mengenal. Sesungguhnya orang nan paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang nan paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Maka kenapa Allah menyiksa Anda lantaran dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi Anda adalah manusia (biasa) di antara orang-orang nan diciptakan-Nya dan (Allah) mengampuni siapa saja nan dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja nan dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ  ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ

“Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian adalah satu, dan ayah kalian (Adam) juga satu. Ketahuilah, tidak ada keistimewaan orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keistimewaan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, namalain orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali lantaran ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan (pesan ini)?” (HR. Ahmad, 38: 474; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Arnauth)

Ayat dan sabda ini menunjukkan bahwa dalam timbangan dan norma Islam, seluruh manusia adalah satu jenis (satu umat), tidak ada nan lebih utama di antara mereka selain dengan lantaran ketakwaan. Sesungguhnya dalam norma Allah Ta’ala dan syariat-Nya, kaum muslimin adalah saudara. Nasab, kehormatan (kedudukan) keluarga, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih utama dari nan lainnya.

Juga terdapat hadis-hadis lain nan menekankan al-kafa’ah dalam perihal kepercayaan dan etika seseorang. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, lantaran keturunannya, lantaran kecantikannya, dan lantaran agamanya. Maka pilihlah lantaran agamanya, niscaya Anda bakal beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466, Abu Dawud no. 2047, An-Nasa’i no. 6816, Ibnu Majah no. 1858, dan Ahmad 15: 319)

Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari meletakkan sabda di atas di bawah titel bab,

بَابُ الأَكْفَاءِ فِي الدِّينِ

“Bab sekufu dalam agama”; nan menunjukkan isyarat dari beliau bahwa beliau menguatkan pendapat ustadz nan menyatakan bahwa al-kafa’ah nan dipertimbangkan dalam norma adalah al-kafa’ah dalam perihal agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ، فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridai kepercayaan dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, bakal terjadi tuduhan di bumi dan kerusakan nan besar.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 7: 132)

Demikian pula dalam kisah istri Tsabit bin Qais nan mau menggugat pisah suaminya. Istri dari Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ

“Ya Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam perihal etika dan agama, tetapi saya tidak suka kekufuran dalam Islam.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟

“Apakah Anda bersedia mengembalikan kebunnya?”

Dia menjawab, “Ya.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman kepada suaminya, Tsabit,

اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273)

Setelah Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebut sejumlah riwayat nan menunjukkan rekomendasi untuk menikahi wanita nan salehah, beliau berkata,

هذه الآثار تدل على أن الكفاءة في الدين أولى ما اعتبر واعتمد عليه، وبالله التوفيق

“Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa al-kafa’ah dalam kepercayaan adalah nan paling utama untuk dipertimbangkan dan dijadikan pegangan. Hanya kepada Allah-lah kita meminta taufik.” [1]

Oleh lantaran itu, pendapat nan betul dalam masalah ini adalah seperti nan dikatakan oleh Imam Malik, nan juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu Abdil Barr, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, serta Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa nan dipertimbangkan dalam al-kafa’ah adalah agama, dalam makna kesalehan dan ketakwaan, bukan nasab. Setiap muslim dianggap setara (sekufu) dengan muslimah, selain jika dia adalah seorang fasik. Sebab, seorang fasik dikhawatirkan bakal melakukan sadis kepada istrinya lantaran kefasikannya, sehingga dia tidak dianggap sekufu dengan wanita nan menjaga kehormatan (wanita salehah). [2]

Demikianlah pembahasan ini, semoga dapat menjadi pedoman bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [3]

[Selesai]

***

@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] At-Tamhid, 19: 168.

[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 31; Al-Inshaf, 8: 108; At-Tamhid, 19: 168; Zaadul Ma’ad, 5: 159.

[3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 277-286) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 307-316). Kutipan-kutipan dalam serial tulisan ini, sebagiannya adalah melalui perantaraan dua kitab tersebut.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027