Panduan Menikah Dengan Pasangan Yang Sekufu (bag. 1)

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, bakal memandang latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), etika (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, bakal dibahas bagaimanakah petunjuk norma dalam masalah ini.

Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat

Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, nan diikuti fa, dan hamzah, nan berfaedah “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berfaedah pasangan nan setara, sepadan, namalain setara dalam status. Segala sesuatu nan setara dengan sesuatu nan lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dan tidak ada seorang pun nan setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4)

Artinya, tidak ada seorang pun nan setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

“Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan norma qishash dan diyat andaikan ada nan dibunuh.

Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, nan berfaedah seorang laki-laki kudu setara dan sepadan dengan wanita nan dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka namalain budak), pekerjaan (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya nan disebutkan oleh para mahir fikih dalam pembahasan ini.

Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat nan dianggap untuk memandang al-kafa’ah dari sisi syar’i:

Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang nan merupakan pelaku dosa besar namalain doyan bermaksiat (orang fajir alias orang fasik) tidak setara dengan seseorang nan saleh namalain menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ

“Apakah orang nan berakidah itu sama dengan orang nan fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18)

Kedua: nasab namalain keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1]

Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau jejak budak) tidak setara dengan orang meredeka.

Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang nan mempunyai pekerjaan nan dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, namalain pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang nan mempunyai pekerjaan tertentu, seperti pedagang.

Kelima: kecukupan kekayaan (kondisi finansial namalain ekonomi); sesuai dengan apa nan wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir namalain miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya namalain berkecukupan. [2]

Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara absolut oleh para ulama. Oleh lantaran itu, setiap ustadz aliran menyebut sifat-sifat al-kafa’ah berasas hasil ijtihad mereka. Masalah ini bakal dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, nan bakal membahas manakah di antara kelima sifat di atas nan menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita.

Tidak banyak makna kafa’ah nan komprehensif, selain dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah nan mendefinisikannya sebagai berikut,

الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا

“Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan nan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3]

Al-kafa’ah yang dipertimbangkan

Para ustadz menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada kebenaran bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mempunyai pasangan nan setara dengan beliau, namun beliau menikahi wanita dari beragam suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang wanita Yahudi. Oleh lantaran itu, rasa pamor tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki mempunyai istri nan dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, namalain nasab, itu tidak bakal menjadi masalah nan besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh lantaran itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu.

Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat nan berangkaian dengan) agama, nasab, merdeka namalain budak, pekerjaan nan tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, lantaran seorang anak itu hanyalah menjadi mulia lantaran kemuliaan bapaknya, bukan lantaran ibunya. Oleh lantaran itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4]

Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya janji nikah

Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya janji nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وهو قول أكثر أهل العلم

“Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.” [6]

Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, nan merupakan seorang jejak budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak wanita kerabat laki-lakinya dengan Salim, nan merupakan jejak budak dari seorang wanita dari kaum Anshar.

Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya janji nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) janji nikah. Karena tentu mereka bakal malu jika mempunyai menantu nan dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan,

وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ

“Sekufu, adalah kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka namalain budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya nan salehah dengan laki-laki fajir, namalain menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, namalain walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7]

Dalil dalam masalah ini sabda dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata,

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا

“Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah dia mau melanjutkan namalain membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ.

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan wanita di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) namalain orang nan meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan kepercayaan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, silam rupanya diketahui bahwa dia adalah Rafidhi nan tidak salat, namalain dia kembali pada kepercayaan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8]

Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami bakal membahas dalil-dalil nan disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat nan dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah?

[Bersambung]

***

@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم

“Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah kepercayaan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419)

Beliau kemudian melanjutkan,

وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا.

“Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab nan paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy nan paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim nan paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk nan paling mulia dan juga mempunyai nasab nan paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420)

Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan nan lain, namalain mempunyai hak-hak spesial nan tidak dimiliki bangsa lainnya, namalain tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan nan lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun nan membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang nan paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang nan paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13)

[2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69.

[3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196.

[4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313.

[5] Kecuali dalam aspek agama, lantaran seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, namalain laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain mahir kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan.

[6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313.

[7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384.

[8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027