ARTICLE AD BOX
Bukti secara logika
Pembahasan kali ini adalah tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran nan sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya nan sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum.
Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika nan bakal dibahas kali ini tetap berasas dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” nan biasa digunakan oleh mahir makulat ketika mau membahas sebuah pembuktian, lantaran Allah dan segala nan berangkaian dengan-Nya adalah sesuatu nan kudu kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana ketaatan kepada Allah adalah inti dari rukun ketaatan nan 6. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu kepercayaan ataupun ibadah bakal mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor nan sesuai syariat).
Perlu dipahami berdampingan pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, apalagi dalam narasi nan lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berasas pengarahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika mengenai eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya,
Dalil penciptaan
Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada nan mengadakannya, namalain dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada nan mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, apalagi anak mini pun tahu bakal perihal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak mini tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, silam saat dia menanyakan siapa nan memukulnya, dia malah dijawab tidak ada seorang pun nan memukulnya. Anak mini itu tentu spontan tidak bakal percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu nan kecil, gimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil!
Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui seumpama mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka bakal menjawab,
يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟.
“Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan bakal unta, dan jejak kaki menunjukan ada nan lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi nan terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan bakal adanya nan Mahalembut lagi Mahateliti?”[2]
Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, adalah firman-Nya,
أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ
“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka nan menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35)
Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung style sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga berbudi pekerti retoris sebagai pertanyaan nan menggugah dan menuntut logika pikiran kita untuk berpikir mendalam.
Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya nan menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, apalagi logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah nan menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada nan menciptakan mereka. Siapa nan bisa melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3]
Dengan ayat nan pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada nan tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan kudu ada nan menciptakannya, alam semesta nan megah ini, manusia dan makhluk lainnya nan begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar nan intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa nan berakal.
Dalil keselarasan dan keseimbangan
Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan nan ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan corak nan presisi, satu dengan makhluk lainnya nan selaras. Untuk itu, ada dua argumen nan menopang dalil logika ini:
Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya.
Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas nan merancangnya dengan cermat, adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala nan Allah ciptakan mempunyai harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat perincian dan sempurna, apalagi sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada kegunaan dan hikmah keberadaannya. Itulah buatan Allah, nan tidak ada siapa pun nan bisa menandingi dan menyaingi peralatan secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya.
Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, di mana dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk memandang dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya nan harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut betul-betul adalah hasil dari pembuatan nan Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi nan bisa melakukan pembuatan dengan sesempurna Allah?
Di antara ayat-ayat nan menunjukkan tentang ini adalah,
صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ
“(Itulah) buatan Allah nan mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88)
ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ
“Yang memperindah segala sesuatu nan Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7)
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam corak nan sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ
“Yang telah menciptakanmu silam menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7)
Dalil refleksi diri manusia
Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika nan pertama, dalil penciptaan, bakal tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini lantaran Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengawasi dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada pembuatan manusia.
Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi gimana dia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas bakal mengantarkan pada satu arti, adalah adanya eksistensi Allah nan mengaturnya, dari penciptaannya nan sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala nan terjadi dan nan ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya.
Berhujah dan berdasar atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam beragam firman-Nya, seperti pada ayat berikut,
سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ
“Kami bakal memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53)
Allah menyebut bahwa Dia bakal memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk nan mengantarkan pada kebenaran bakal Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan,
وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah Anda tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia gimana agar mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya.
Ibnu Katsir menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan skill manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan nan cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap personil tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi nan ideal untuk memenuhi kegunaan dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan bakal kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]
Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan gimana dia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari nan awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), silam menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana dia kemudian bisa mempunyai personil tubuh, bisa mempunyai logika pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak bakal bisa melakukan perihal itu, merubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, gimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu dia belum punya, tetap sebatas prototype nan belum sempurna dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lantas, siapa jika bukan Allah nan Mahakuasa nan melakukan ini?
Dalil alam semesta
Pada dasarnya, dalil ini tetap termasuk ke dalam Dalil Penciptaan nan disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya.
Di setiap buatan Allah, pastinya ada tanda-tanda nan pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, nan tidak ada seorang pun namalain entitas apa pun nan bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta nan begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia nan begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia nan berakal diminta untuk merenunginya dan mentadaburinya.
Banyak sekali firman Allah nan mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan bakal alam semesta,
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ
“Sesungguhnya dalam pembuatan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang nan berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)
Juga pada surah Yasin ayat 37-40, nan artinya,
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan mentari melangkah di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) nan Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah dia sampai ke tempat peredaran nan terakhir) kembalilah dia seperti corak tandan nan tua. Tidaklah mungkin bagi mentari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40)
Dalil petunjuk dan arahan
Menilik pada kejadian universal, adalah setiap makhluk hidup mempunyai apa nan disebut sebagai hatikecil namalain hatikecil nan membuatnya dapat memperkuat hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu nan serta merta ada tanpa ada nan memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya nan mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan namalain menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman,
رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ
“Tuhan kami adalah (Tuhan) nan telah memberikan corak kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50)
As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus pengarahan dari Allah ini berbudi pekerti universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk mempunyai kecenderungan alami untuk mendapatkan kegunaan nan menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal nan membahayakan. Bahkan, hewan nan tidak mempunyai logika sekalipun diberi skill naluriah nan memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah kenapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6]
Itulah di antara dalil-dalil namalain bukti serta argumen logika untuk membuktikan bakal eksistensi Allah, namalain sebagai penguat keagamaan bagi kita selaku umat muslim nan sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun.
Terakhir, tetap nan perlu digarisbawahi adalah bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutamanya nan berasosiasi dengan kepercayaan dan ketuhanan tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i baik Al-Qur’an maupun hadis.
Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah perihal nan jelek dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan kejadian nan ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) pun juga makrokosmos (bumi, langit, semesta).
Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika mengenai eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang nan fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut.
Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah.
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel: KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5:358.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 1:106.
[3] Ibnu Taimiyah, Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin, hal. 253.
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7/391.
[5] As-Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 506.
[6] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1:130-140.