Mengenal Taqi Al-din Muhammad Ibnu Ma'ruf.

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

KincaiMedia, BAGHDAD -- Nama lengkapnya, Taqi  al-Din Abu Bakar Muhammad bin Zayn al-Din Ma'ruf al-Dimashqi al-Hanafi. Namun, intelektual Muslim kelahiran Damaskus, Suriah, nan mendunia pada abad ke-16 M ini lebih dikenal dengan nama nan lebih singkat: Taqi al-Din Muhammad Ibnu Ma'ruf. Dialah intelektual nan memberi kontribusi besar bagi perkembangan pengetahuan matematika, astronomi, optik, dan mekanika hingga kini.

Taqi al-Din nan lahir pada 1521 M mengabdikan dirinya untuk pengembangan pengetahuan pengetahuan dan teknologi di kekhalifahan Turki Utsmani. Salah satunya mengabdi sebagai kepala observatorium. Dia meninggal di Istanbul pada 1585 M.

Pada era itu, tak ada intelektual di Eropa nan bisa menandingi kepakarannya. Hal ini bisa dipahami lantaran Taqi al-Din adalah intelektual multitalenta nan menguasai beragam disiplin ilmu. Dikenal sebagai astronom andal, dia juga termasyhur sebagai astrolog, insinyur, mahir fisika, master matematika, dokter, pengadil Islam, mahir botani, filsuf, mahir agama, dan pembimbing madrasah. Dunia pengetahuan pengetahuan modern juga mengakuinya sebagai intelektual nan sangat produktif.

Setidaknya, lebih dari 90 titel kitab dengan beragam bagian kajian telah ditulisnya. Sayangnya, hanya tinggal 24 karya monumentalnya nan tetap tetap eksis. Sederet penemuannya juga sungguh menakjubkan. Pencapaiannya dalam menemukan beragam perangkat mendahului para intelektual Barat.

Dalam bukunya berjudul al-Turuq al-Samiyya fi al-Alat al-Ruhaniyya, sang intelektual serba bisa ini memaparkan langkah kerja mesin uap air dan turbin uap air. Padahal, intelektual Eropa Giovani Branca baru menemukan tenaga uap air pada 1629 M.

Salah satu karya terkenal al-Din adalah pompa enam silinder nan menerapkan sistem monoblock. Temuan perangkat pada 1559 M ini kian melambungkan namanya sebagai intelektual nan disegani. Begitu pula dengan temuan jam nan akurasinya mumpuni. Jam sirine mekanik pertama merupakan buah karyanya.

Al-Din jugalah nan menemukan jam pertama dengan parameter menit dan detik. Pada 1556 M hingga 1580 M, sang intelektual telah menemukan perangkat untuk memandang antariksa, teleskop. Padahal,  teknologi ini baru dikenal peradaban Barat pada abad ke-17 M. Agar lebih dapat mendalami astronomi, dia mendirikan observatorium Istanbul pada 1577 M.

Kecemerlangan al-Din pada pengetahuan pengetahuan tak timbul dengan sendirinya. Sang ayah, Maruf Efendi, menjadi pembimbing pertamanya. Dimulai dengan menekuni bagian keagamaan sebagai fondasi dasar semua ilmu, sang ayah silam mengirimkannya untuk belajar pengetahuan pengetahuan umum di Suriah dan Mesir.

Dari sinilah, al-Din menimba pengetahuan matematika dari Shihab al-Din al-Ghazzi, sedangkan pembimbing astronominya nan paling berpengaruh adalah Muhammad bin Abi al-Fath al-Sufi. Dari semua pengetahuan nan dipelajarinya, matematika menjadi bagian favoritnya. Kesukaannya kepada pengetahuan berbilang itu diungkapkan Taqi al-Din dalam kata pengantar beragam kitab nan ditulisnya. Setelah menamatkan pendidikannya, dia menjadi pembimbing madrasah di Damaskus.

Sekitar tahun 1550 M, dia berdampingan ayahnya bertandang ke Istanbul, Ibu Kota Pemerintahan Ottoman Turki. Selama berada di kota itu, al-Din menjalin hubungan dengan para intelektual Turki, seperti Chivi-zada, Abu al-Su`ud, Qutb al-Dinzada Mahmad, dan Sajli Amir. Tak lama kemudian, dia kembali ke Mesir dan mengajar di Madrasah Shayhuniyya dan Surgatmishiyya.

Pada masa itu, al-Din sempat kembali mengunjungi Istanbul meski hanya sebentar. Di sana, dia dipercaya mengajar di Madrasah Edirnekapi. Saat itu, Perdana Menteri Kerajaan Turki Utsmani dijabat Samiz Ali Pasha. Selama mengajar di Madrasah Edirnekapi, al-Din menggunakan perpustakaan pribadi Ali Pasha dan koleksi jamnya untuk penelitian.

Kepribadian al-Din nan hangat dan supel melempangkan jalan baginya untuk menjalin hubungan dekat dengan para ustadz dan pejabat negara. Ketika Ali Pasha diangkat sebagai gubernur Mesir, al-Din kembali ke Negeri Piramida itu.

Di Mesir, dia diangkat menjadi pengadil namalain kadi serta mengajar di madrasah. Namun, ketertarikannya pada astronomi dan matematika tak pernah ditinggalkan. Terbukti, selama tinggal di Mesir, dia menorehkan sejumlah karya di bagian astronomi dan matematika.

Bangun observatorium

Pada era pemerintahan Sultan Selim II, sang intelektual kembali diminta mengembangkan bagian astronomi oleh seorang pengadil di Mesir, Kazasker Abd al-Karim Efendi, dan ayahnya, Qutb Al-Din. Bahkan, Qutb al-Din menghibahkan kumpulan karya-karyanya beserta beragam peralatan astronomi. Sejak itulah, dia mulai konsisten mengembangkan astronomi dan matematika.

Pada saat bersamaan, al-Din resmi diangkat menjadi kepala astronom kesultanan (Munajjimbashi) Sultan Selim II pada 1571 M. Ia diangkat setelah wafatnya kepala astronom sebelumnya, Mustafa bin Ali al-Muwaqqit.

Pemerintahan Turki Utsmani mengalami perubahan kepemimpinan ketika Sultan Selim wafat. Tahta kesultanan kemudian diduduki Sultan Murad III. Kepada sultan nan baru, al-Din mengusulkan permohonan untuk membangun observatorium nan baru. Dia menjanjikan prediksi astrologi nan jeli dengan berdirinya observatorium baru tersebut.

Permohonan itu akhirnya dikabulkan Sultan Murad III. Proyek pembangunan observatorium Istanbul dimulai pada 1575 M. Dua tahun kemudian, observatorium itu mulai beroperasi. Taqi al-Din menjabat sebagai kepala observatorium Istanbul. Sokongan biaya nan besar dari Kerajaan Ottoman membikin observatorium itu bersaing dengan observatorium lain di Eropa, terutama observatorium Raja Denmark.

Tak berpangku tangan, di observatorium Istanbul nan dibangunnya, al-Din pun memperbarui tabel astronomi antik peninggalan Ulugh Beg. Observatorium itu pun bisa menjelaskan tentang pergerakan planet, matahari, bulan, dan bintang.

Suatu saat, al-Din menyaksikan sebuah komet. Ia silam memperkirakan munculnya komet itu sebagai pertanda kemenangan bagi pasukan tentara Turki Utsmani nan sedang bertempur. Namun, rupanya prediksinya meleset. Sultan pun memutuskan untuk menghentikan kucuran biaya operasional bagi observatorium. Akibatnya, pada 1580 M, observatorium berhujung beroperasi.

Sejak saat itulah, Pemerintah Utsmani mengharamkan astrologi. Selain argumen agama, berantem politik juga menjadi salah satu pemicu ditutupnya observatorium itu. Meski begitu, astronomi bukanlah satu-satunya bagian nan dikembangkan al-Din. Ia juga sukses menemukan beragam teknologi serta karya dalam disiplin pengetahuan lainnya. Hingga kini, namanya tetap melegenda sebagai  intelektual serba bisa pada zamannya. n ed: wachidah handasah

sumber : Dok Republika

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027