ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, BANDA ACEH -- Nama Syekh Nuruddin sangat masyhur di kalangan umat Islam. Khususnya, umat Islam di Indonesia.
Ulama serba bisa. Gelar itu layak ditabalkan kepada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, seorang ustadz besar pada pertengahan abad ke-17 M. Ulama nan berasal dari Gujarat, India, itu memang menguasai beragam ilmu. Selain dikenal sebagai seorang teolog, fakih, penulis, mahir hukum, dan syekh Tarekat Rifaiyah, dia juga bergelar sastrawan dan politikus.
Syekh Nuruddin banget berjasa dalam mengembangkan aliran Islam di bumi Melayu. Ia dinilai mempunyai peranan krusial dalam menghalangi kecenderungan percampuran tradisi lokal ke dalam Islam, tanpa mengabaikan pembawa Islam dari Timur Tengah namalain tempat lain. Ia juga menjadi mata rantai nan menggabungkan tradisi Islam di Timur Tengah dan Nusantara.
Ia juga berjasa dalam penyebaran bahasa Melayu di wilayah Asia Tenggara. Karya-karyanya nan juga ditulis dalam bahasa Melayu banget popular dan menjadikan Melayu sebagai bahasa Islam kedua setelah Arab. Bahkan, pada masa tersebut umat Islam mempelajari pengetahuan kepercayaan dengan membaca kitab-kitab berbicara Melayu.
Syekh Nuruddin berasal dari Gujarat, India. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 di Ramir, sekarang berjulukan Rander, dekat Surat, Gujarat. Sejatinya, dia berjulukan komplit Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid ar Raniri al Quraisyi asy-Syafii.
Ilmu-ilmu kepercayaan dipelajarinya sejak tetap belia di tanah kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikannya ke Tarim, Arab bagian selatan. Pada masa itu, Tarim merupakan pusat pendidikan kepercayaan Islam. Nuruddin sempat menunaikan ibadah haji dan berjamu ke makam Rasulullah SAW, sebelum kembali ke India pada 1621.
Menurut catatan sejarah, Syekh Nuruddin belajar kepada seorang ustadz besar berjulukan Sayyid Umar Abu Hafs bin Abdullah Basyeiban. Ia terkenal di India dengan nama Sayyid Umar al-Idrus nan membawa tarekat Al-Idrus Baalawi di India. Nuruddin juga telah menerima Tarekat Rifaiyah dan Qodariyah dari gurunya.
Setelah menyelesaikan studinya, dia mengabdikan dirinya sebagai pengajar selama beberapa tahun di India. Ia diangkat menjadi seorang syekh Tarekat Rifaiyah. Setelah diangkat, dia merantau dan menetap di Aceh. Ia tiba di Aceh pada 1937 dan bekerja beberapa tahun di Kesultanan Aceh sebagai penasihat kesultanan hingga 1644. Pada saat itu, Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (1636-1641).
Tidak diketahui kenapa Syekh Nuruddin memilih Aceh sebagai tempatnya menetap. Diduga, dia memilih menetap di Aceh lantaran kesultanan tersebut sedang berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan politik kala itu. Aceh juga menjadi pusat studi kepercayaan Islam di area Asia Tenggara dan Nusantara, menggantikan Malaka nan telah jatuh ke tangan Portugis.
Ada pula kemungkinan lainnya. Syekh Nuruddin memilih menetap di Aceh lantaran mau mengikuti jejak pamanya, Syekh Muhamad Jailani bin Muhammad Hamid ar-Raniri nan lebih dulu tiba di kesultanan bergelar Serambi Makkah itu pada 1588.
Syekh Nuruddin adalah seorang ustadz dan penulis nan sangat produktif. Ia mengkritisi ustadz pendahulu Aceh, Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai atas apa nan dia lihat sebagai bidah terhadap aliran Islam. Ia melihat, tasawuf falsafi nan dibawa Hamzah Fansuri sangat unik dengan doktrin wihdatul wujud.
Doktrin itu dinilai Syekh Nuruddin sebagai sinkretisasi dengan aliran Budha dan Hindu di Jawa sehingga menghasilkan apa nan sekarang disebut kejawen. Ulama terkemuka itu sempat memerintahkan buku-buku karangan kedua ustadz tersebut dibakar. Ia silam menulis beberapa tulisan nan dia anggap sebagai standar aliran ortodoks.
Berkat karya-karyanya, Syekh Nuruddin menjadi sufi pertama di Nusantara nan berinisiatif menulis kitab pegangan standar tentang kewajiban-kewajiban kepercayaan Islam bagi penganutnya. Karya-karyanya itu menjadi pedoman bagi masyarakat Muslim Melayu dalam menerapkan aliran Islam. Bahkan, hingga hari ini karya-karyanya tetap dipakai sebagai pedoman aliran Islam di beberapa wilayah Melayu di Indonesia.
Syekh Nuruddin banyak menulis kitab-kitab dari beragam bagian pengetahuan agama, seperti fikih, hadis, akidah, sejarah, dan filsafat. nan membuatnya menonjol adalah selalu menyebut sumber quote untuk memperkuat argumen nan dikemukakannya. Karya terbesarnya dalam pengetahuan fikih adalah kitab As Sirat al- Mustaqin nan berfaedah ‘Jalan Lurus‘. Buku ini berisi tentang beragam masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat.
Kitab lainnya nan popular adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja-Raja). Ia mulai menulis pada 1638 di Malaysia berasas sumber-sumber Arab. Buku ini merupakan ensiklopedi nan terdiri dari tujuh volume mengenai sejarah bumi dari pembuatan melalui periode-periode para nabi Islam dan raja-raja Muslim di Timur Tengah dan Malaysia. Tulisan-tulisannya itu telah diterjemahkan ke bahasa selain Indonesia dan mempunyai pengaruh cukup besar dalam sastra Melayu.
Hubungan baik Syekh Nuruddin dengan Sultan Iskandar Thani memberinya kesempatan untuk mengembangkan mengerti dan aliran mistik nan dibawanya. Hal ini bermaksud agar aliran Hamzah Fansuri tidak tersebar. Ia kehilangan pamornya ketika Sultan Iskandar Thani tak lagi menduduki takhta. Ia meninggalkan Aceh pada 1644 dan meninggal di India pada 1658.
sumber : Dok Republika