ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Pulau Jawa pada akhir abad ke-19 mempunyai seorang ustadz besar, adalah Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani. Sosok ini lebih dikenal dengan julukan KH Shaleh Darat. Dikutip dari kitab Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang (2012), sosok pembimbing bangsa ini lahir di Desa Kedung Jumbleng, Jepara (Jawa Tengah), pada 1820.
Nama belakangnya menandakan wilayah tempatnya bermukim dan menyebarkan ilmu-ilmu kepercayaan Islam, adalah Kampung Darat, nan berlokasi di sekitar pesisir Semarang. Pesantren nan kelak didirikannya di sana juga mengambil nama nan sama. Pada Jumat, 18 Desember 1903, salik sekaligus pejuang anti-penjajahan ini wafat dalam usia 83 tahun.
Kiai Shaleh lahir dari family nan memegang teguh tradisi pesantren. Ayahnya berjulukan Kiai Umar. Sewaktu Perang Diponegoro (1825-1830) berkecamuk, bapaknya itu merupakan salah seorang pengikut setia pejuang asal Yogyakarta itu.
Shaleh memperoleh pendidikan dasar keislaman dari sang ayah. Beberapa bagian nan ditekuninya adalah tata bahasa Arab, akidah, akhlak, pengetahuan hadis, dan fiqih.
Saat beranjak remaja, ayahnya menyuruh Shaleh untuk belajar pada beberapa ustad di Semarang. Di antara mereka adalah KH Syahid Pati. Pemuda ini belajar banyak kitab fikih kepada pengasuh pesantren di Waturoyo itu.
Selanjutnya, Shaleh mengembara ke Kudus untuk menemui KH M Saleh bin Asnawi demi belajar Tafsir Jalalain. Usai dari sana, dia kembali ke Semarang guna menuntut pengetahuan nahwu, sharaf, pengetahuan falak, dan mengkaji karya-karya Imam Ghazali. Itu semua dilakukannya dengan menimba pengetahuan dari KH Ishak Damaran, KH Abu Abdillah, dan Sayyid Ahmad Bafaqih Ba'lawi.
Sebelum melanjutkan langkahnya, Shaleh berjumpa dengan Syekh Abdul Ghani Bima di Semarang untuk mengkaji kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Akhirnya, dia tiba di Purworejo untuk menimba pengetahuan tasawuf dan tafsir Alquran dari Mbah Ahmad Alim.