ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA— Fenomana pembakaran kitab para ustadz oleh pemerintahan nan berkuasa adalah plural terjadi pada era dinasti-dinasti Islam.
Salah satu kejadian nan tercatat dalam perihal ini adalah apa nan terjadi pada masa Ali ibn Tashfin (wafat 538 H/1143 M), sultan dari negara Almoravid di Andalusia dan Barat Islam.
Al-Dzahabi dalam kitabnya As-Siyar fi A’lam an-Nubala menggambarkannya sebagai seorang nan sangat menghargai para ustadz dan penasihat mereka, tetapi lebih condong pada masanya karya-karya fikih berikut bagian displin pengetahuan darinya, hingga mereka malas terhadap hadits dan sejarah, makulat dihina, dan pengetahuan kalam dimuliakan dan dibenci.
Sebagai akibat dari penjelek-jelekan pengetahuan kalam dan makulat ini, orang-orang pada masa itu mengkafirkan siapa saja nan tampak mendalami pengetahuan kalam.
Para mahir norma memutuskan berdampingan Amir kaum Muslimin Ali bin Tasyfin bahwa pengetahuan kalam itu jelek, para pendahulu membencinya, dan meninggalkan mereka nan mendalami pengetahuan kalam, dan pengetahuan kalam adalah bidah dalam agama, dan dapat menyebabkan perbedaan keyakinan, menurut catatan Abd al-Wahid al-Maraksyi (wafat 647 H/1249 M) dalam al-Mu’jib fi Talkhis Akhbar al-Maghrib.
Al-Maraksyi menambahkan bahwa dalam suasana nan tidak berkawan bagi studi Kalam dan makulat inilah Emir Ali bin Tashfin mengangkat posisi-posisi para mahir norma terhadap apa pun nan bertentangan dengan yurisprudensi resmi negara, aliran Maliki.
Setelah Emir menjadi tertanam kuat dalam dirinya membenci pengetahuan kalam dan orang-orangnya, maka dia menulis tentang perihal itu setiap saat ke negara dengan penekanan untuk tidak mempelajari pengetahuan tersebut dan menakut-nakuti siapa pun nan ditemukan mempunyai buku-bukunya.
Ketika buku-buku Abu Hamid al-Ghazali, masuk ke wilayah Islam di Barat hingga Andalusia Spanyol, Emir kaum Muslimin memerintahkan untuk membakarnya, dan mengeluarkan ancaman nan keras berupa pertumpahan darah dan pemusnahan kekayaan kepada siapa pun nan ditemukan mempunyai salah satu dari buku-buku tersebut.
Tampaknya pengaruh dari keputusan resmi untuk membakar buku-buku al-Ghazali, meskipun pembakaran nan sebenarnya terbatas pada kitabnya Ihya Ulumuddin, diperpanjang selama nyaris empat puluh tahun, selama pemerintahan Emir 'Ali bin Tashfin, nan berkuasa pada tahun 500 H / 106 M.
BACA JUGA: 1.000 Drone Perkuat Pertahanan Udara, Iran Siap Perang Besar Jangka Panjang
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya nan sama, tentang apa nan tampaknya merupakan kejadian pertama dari pembakaran kitab ini, dengan mengatakan bahwa pada tahun nan sama buletin tiba [di Alexandria] bahwa buku-buku al-Ghazali dibakar di al-Mirya" di Andalusia.
Salinan kitab tersebut dibakar di seluruh Andalusia di bawah pengawasan "Qadi al-Jamaah" (hakim dari para hakim) Maliki, Muhammad bin Ali bin Hamdin al-Taghlibi (wafat tahun 508 H / 1114 M), nan digambarkan oleh al-Dzahabi sebagai "mengkritik Imam Abu Hamid dalam perihal tasawuf, dan menulis untuk menanggapinya" (wafat tahun 538 H / 1114 M).