ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah namalain nan berkawan disapa Buya Hamka merupakan sosok ulama, sastrawan, dan intelektual sekaligus. Pahlawan nasional kelahiran Nagari Sungai Batang, Sumatra Barat, 1908 ini juga dikenang sebagai pribadi nan dekat dengan umat.
Pada masanya, berilmu Minangkabau tersebut adalah tempat umat Islam bertanya. Buya Hamka pun mengasuh sejumlah rubrik tanya jawab di media massa.
Sebagai contoh, pada 15 Mei 1963, ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menjawab pertanyaan dari pembaca majalah Gema Islam. Sang penanya mengaku heran dengan mereka nan berpaham komunisme.
Si pembaca menanyakan, apakah betul mengerti komunisme itu tidak mengakui adanya Tuhan. Namun, nan mengherankannya adalah, tetap ada saja orang-orang Indonesia nan mengaku komunis tetapi tetap mengerjakan shalat. Ingat, tahun 1963 adalah masa Orde Lama berkuasa. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu parpol terbesar di Tanah Air kala itu.
Mendapat pertanyaan demikian, Buya Hamka menegaskan bahwa komunisme adalah suatu mengerti nan tidak mengakui adanya tuhan. Lantaran ateis, kaum komunis memandang bahwa tuhan hanyalah buatan manusia.
"Dalam term mereka, disebutlah bahwa kepercayaan itu hanya suatu lapisan atas saja daripada kehidupan manusia, nan ditentukan oleh lapisan bawah, adalah sosial-ekonomi. Tegasnya, Tuhan bagi mengerti komunis adalah suatu nan ditentukan oleh perut belaka," tulis Buya Hamka.
Kemudian, mengenai adanya orang komunis nan tetap mengerjakan shalat namalain berpuasa Ramadhan. Menurut Buya Hamka, mereka itu adalah komunis nan tidak baik namalain belum matang disebut komunis.
Bahkan, tokoh Persyarikatan Muhammadiyah ini menduga, perangai mereka itu hanyalah siasat untuk menarik orang-orang lain agar mengikuti komunisme. Dalam arti, mereka pura-pura shalat agar publik menganggap bahwa menjadi komunis itu tidak otomatis menjadi ateis.