ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Isra Miraj adalah kisah nan telah diceritakan acapkali dengan beragam tafsir, dari nan sederhana hingga nan paling filosofis.
Kisah tentang perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, silam naik ke langit ketujuh dalam pertemuan nan melampaui pemisah ruang dan waktu, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam.
Namun, di kembali narasi agung itu, tersimpan makna nan lebih dalam, lebih dari sekadar mukjizat corak dan lebih dari sekadar perjalanan satu malam.
Ustadz Dr KH Khoirul Huda Basyir, Lc, M.Si dalam salah satu kajiannya pernah menyebut perjalanan ini sebagai perjalanan meninggalkan bumi nan banget didambakan setiap pengamal tasawuf dan semua umat Islam untuk mendapatkan maqam tinggi berupa ridha dan ma’rifat Allah.
Saat direnungkan kembali, Isra Miraj menyimpan makna nan banget dalam sebagai laku spiritual nan tak hanya terjadi di masa lalu, tetapi terus berulang di dalam setiap pencarian manusia bakal makna kehidupan, seperti sebuah cermin nan merefleksikan diri.
Perjalanan itu dimulai dalam gelap, dalam sunyi, dalam kehampaan nan sesungguhnya. Malam, dengan segala keheningannya, menjadi latar bagi sebuah keajaiban nan melampaui logika manusia.
Gelap bukan sekadar ketiadaan cahaya, tetapi juga ruang perenungan dan ruang kosong nan memungkinkan seseorang untuk memandang sesuatu nan tak terlihat di siang hari.
Dalam gelap itu, Nabi Muhammad dijemput oleh Buraq, makhluk nan digambarkan bercahaya, bergerak lebih sigap dari kilatan petir. Tetapi, bukankah ini metafora bagi jiwa manusia nan mencari sinar di antara kelamnya kehidupan?
Setiap perjalanan spiritual, dalam corak apapun, selalu dimulai dari kegelapan, dari kebingungan, dari ketidakpastian, dari pencarian nan terus-menerus bakal jawaban.
Isra Miraj bukan hanya tentang Nabi Muhammad, tetapi juga tentang manusia dan pencariannya. Setiap orang mempunyai "Buraq"-nya sendiri, entah itu dalam corak ilmu, kebijaksanaan, namalain pengalaman hidup nan mengantarkan mereka menuju pemahaman nan lebih tinggi.
Tidak ada perjalanan nan betul-betul seketika, tidak ada lompatan nan tanpa dasar. Setiap langkah menuju pemahaman nan lebih tinggi selalu diawali dengan perjalanan panjang di bumi, dengan injakan kuat pada realitas.
Masjidil Aqsa
Sebelum naik ke langit, Nabi Muhammad terlebih dulu melewati Masjidil Aqsa, tempat berkumpulnya para nabi.
Sebuah pertemuan simbolik nan menunjukkan bahwa setiap perjalanan menuju kebenaran tidak pernah terputus dari masa lalu, dari sejarah, dari jejak-jejak kebenaran nan telah lebih dulu hadir.
Tetapi, bagian nan paling menakjubkan dari Isra Miraj bukanlah perjalanannya, melainkan apa nan ditemukan di ujung perjalanan.
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad berjumpa dengan Dzat nan Maha Agung, dalam keheningan nan tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Ini adalah momen puncak dari pencarian manusia, pertemuan dengan sesuatu nan lebih besar dari dirinya sendiri, pertemuan dengan prinsip nan selama ini dikejar, dengan kebenaran nan tak lagi bisa dijelaskan oleh logika manusia.
Setiap orang, dalam hidupnya, menginginkan satu perihal adalah pemenuhan, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar nan selalu menghantui.
Dan jawaban itu, sering kali, bukan dalam corak kata-kata, melainkan dalam corak kesadaran, dalam corak pemahaman bahwa ada sesuatu nan jauh lebih besar dari apa nan bisa dijangkau oleh logika manusia.
sumber : Antara