ARTICLE AD BOX
Hukum asalnya nan bertindak bahwasanya tidak boleh dan haram seseorang melihat, menyentuh, dan menjamah aurat orang lain, meski dia adalah kerabatnya namalain mahramnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki nan beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; nan demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa nan mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanita nan beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.”” (QS. An-Nuur: 30-31)
Juga berasas sabda dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ وَفِي رِوَايَةٍ: اطْرُقْ بَصَرَكَ وَفِي رِوَايَةٍ : فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan nan tiba-tiba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Palingkanlah pandanganmu!” Dan pada sebuah riwayat, “Tundukkanlah pandanganmu!” Dan pada riwayat nan lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan saya untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, 14: 138-139)
Dan juga norma asalnya orang nan sakit namalain lemah (misal: tua renta) mereka diperintahkan bersuci sendiri dari hadats, najis, namalain kotorannya. Namun seumpama tidak bisa maka boleh istrinya nan mensucikannya, membersikannya, dan memandikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu, selain dari istrimu namalain budak nan Anda miliki.” (HR. Tirmidzi no. 2769 dan Ibnu Majah no. 1920)
Tetapi jika istrinya juga tidak bisa namalain tidak mempunyai istri, maka nan menggantikannya adalah anak-anaknya nan laki-laki. Anak laki-laki lebih utama dan didahulukan dalam mengurus hal-hal di atas dari pada anak perempuan, lantaran lebih selamat dan terjaga, meskipun anak wanita tersebut mahram bagi bapaknya.
Kemudian seumpama tidak ada anak laki-laki namalain kerabatnya nan laki-laki nan bisa melakukannya, maka wajib memperkerjakan dan bayar orang lain laki-laki nan mengerjakan tugas-tugas di atas. Tetapi jika perihal itu tidak bisa juga dilakukan lantaran suatu lantaran dan nan lainnya, maka tidak kenapa dan boleh bagi anak perempuannya namalain kerabat perempuannya nan tetap mahram yang membersihkan dan memandikannya. Sebagaimana norma fikih nan berbunyi,
الحاجة تنزل منزلة الضرورة والضرورة تبيح المحظورات
“Kebutuhan (yang) menempati posisi darurat, sedangkan kondisi darurat memperbolehkan sesuatu nan semula dilarang.”
Dan juga berasas firman Allah Ta’ala,
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Maka bertakwalah Anda kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
Didahulukannya mahram laki-laki daripada mahram perempuan di dalam memandikan dan membersihkan kotoran dan najis secara langsung kepada bapaknya nan lemah lantaran usia namalain sakit, semua ini dalam rangka dan bab kehati-hatian dalam agama, keselamatan dari godaan, serta menjaga batasan-batasan norma Alla ‘Azza wa Jalla, bukan dalam rangka prasangka jelek namalain ketidak-percayaan kepada mahram-nya.
Dan juga nan kudu diperhatikan dan diketahui, bagi nan memandikan namalain membersihkan agar dia tetap berupaya menjaga pandangan dan meminimalisir memandang dan memegang aurat sesuai kebutuhan. Jika memang kudu memegang kemaluan, maka sepatutnya menggunakan penghalang seperti kaos tangan, kain, namalain handuk dan nan lainnya. Wallahu Ta’ala A’lam.
Baca juga: Fatalnya Perbuatan Mencium Lawan Jenis nan Bukan Mahram
***
Penulis: Junaidi Abu Isa, S.H., M.H.
Artikel KincaiMedia
Referensi:
https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1226