ARTICLE AD BOX
Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, adalah sewa menyewa nan mana jasanya hanya diberikan untuk pribadi namalain perseorangan saja, bukan untuk publik.
Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa nan berbudi pekerti khusus,
Pertama, unik untuk bekerja selama masa perjanjian
Kedua, unik untuk menyelesaikan pekerjaan nan disepakati
Dan mengenai dengan keduanya telah disebutkan ketentuan-ketentuannya.
Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ustadz mengenai dengan penggabungan kedua janji di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. nan lebih tepat adalah menggabungkan antara keduanya diperbolehkan.
Dengan syarat, masa kerja namalain kontraknya kudu masuk akal. Jika rumah nan kudu dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk logika dan tidak diperbolehkan.[1]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة.
“Yang betul adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu namalain masa perjanjian dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada perihal tersebut terdapat maslahat.”[2]
Di antara contohnya adalah:
A mau membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bekerja-sama untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu.
Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan nan sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak kudu untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu nan tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti bayar utang sebelum waktunya.
Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa perjanjian sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak mahir dalam menunaikan janji kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu nan tepat.
Poin-poin krusial mengenai sewa menyewa jasa secara khusus
Pertama, penyedia jasa namalain pekerja sifatnya adalah amin (orang nan dipercaya).[3]
Amin adalah istilah nan sangat sering digunakan dalam bab Fikih Mu’amalah, adalah ialah orang nan dipercaya dalam sebuah janji untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga kekayaan namalain peralatan tertentu.
Pada perihal ini, dia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan namalain kehilangan baik dari kekayaan namalain pekerjaannya, selain jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) namalain taqshir (kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan kewenangan upahnya secara utuh.
Gambaran sederhananya:
A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang nan amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa kekayaan A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B.
Beda halnya jika B mengetahui adanya orang nan masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah nan dinamakan dengan kelalaian dan B kudu bertanggung jawab.
Kedua, penyedia jasa namalain pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain.[4]
Penyedia jasa nan berbudi pekerti unik ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa namalain pengguna jasanya saja. Mengingat jika dia bekerja pada orang lain, bakal lalai, apalagi terluput darinya kegunaan nan kudu diperoleh dari pihak penyewa. Dalam perihal ini terdapat kaidah,
المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ
“Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan perihal lain).”
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan norma ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah
وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ
“Setiap nan sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan perihal lain).
Seperti pada janji marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).”[5]
Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas,
“Inilah makna dari perkataan para ustadz Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan perihal lain). Yakni, jika ada sesuatu nan sedang sibuk dengan nan lain, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan nan lain sampai selesai dari kesibukannya. Contohnya seperti janji gadai, peralatan nan tetap berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai namalain diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, peralatan nan diwakafkan………begitu juga, penyedia jasa nan berbudi pekerti unik (pribadi), adalah mereka nan manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu dia bekerja, baik per hari namalain per jam. Maka, tidak boleh dia disibukkan dengan nan lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu nan dia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.”[6]
Bagaimana jika penyedia jasa namalain pekerja tetap bekerja untuk orang lain?
Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan namalain lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan dia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berkuasa untuk meminta tukar rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa namalain pekerja. [7]
Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi alias sebaliknya.[8]
Kafir dzimmi[9] adalah orang kafir nan tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup tenteram dengan kaum muslimin dan bayar jizyah (upeti).
Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi alias mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan nan haram, kudu pekerjaan nan halal.
Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam corak perjanjian kerja, Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan nan tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka.
Wallahu A’lam.
***
Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: KincaiMedia
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah, karya Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin.
Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 348.
[2] Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, 10:77.
[3] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290, dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358-359.
[4] Fiqhul Mu’amalat Al-Muyassar, hal. 358.
[5] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48.
[6] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 48-49, dan Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 7:157.
[7] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 358.
[8] Shahih Fiqh Sunnah, 5:290.
[9] Tadzhib Syarah Tashil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 278.