Fikih Akad Muzara’ah

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Muzara’ah sejatinya tidak jauh berbedanya dengan musaqah. Jika musaqah adalah kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola untuk mengairi kebun namalain pohon, adapun muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik lahan dengan pengelola untuk menanam sebuah tanaman namalain pertanian.

Sederhananya, musaqah konsentrasi pada perawatan tanaman, muzara’ah konsentrasi pada penanaman tanaman namalain pertanian. Tentunya mengenai keduanya ada hukum-hukum nan kudu diketahui. Para ustadz ada nan menyatukan pembahasan keduanya mengingat pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Di antara ustadz pula ada nan menyatukan pembahasan musaqah dan muzara’ah, dikarenakan ada sedikit perbedaan di antara keduanya.

Definisi muzara’ah[1]

Secara bahasa, muzara’ah diambil dari kata الزَّرْعُ nan berfaedah menanam.

Secara istilah, memberikan tanah kepada pengelola (penanam) untuk ditanami bibit tanaman nan diberikan oleh pemilik tanah namalain pengelola. Istilah sederhananya adalah berkerja sama dalam pertanian.

Dikarenakan adakalanya pemilik tanah tidak mempunyai skill dalam bagian pertanian dan adakalanya petani nan mempunyai skill dan skill tidak mempunyai tanah untuk bertani. Sehingga diadakannya perihal ini sebagai corak kerjasama untuk membangun perekonomian nan tidak berbudi pekerti individual.

Hukum muzara’ah

Hukum muzara’ah tidak ada bedanya dengan musaqah. Hukumnya adalah mubah, ialah diperbolehkan di dalam kepercayaan Islam. Kendati ada sebagian ustadz nan tidak memperbolehkannya lantaran mengandung gharar (ketidakjelasan). Namun, nan lebih tepat wallahu’alam adalah bolehnya janji muzara’ah ini. Sebagaimana pendapat jumhur ulama, seperti ustadz Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan lainnya.

Dalil muzara’ah

Dalil dari bolehnya muzara’ah adalah sabda dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan seseorang untuk memanfaatkan tanah khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma namalain sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Bukhari rahimahullah membikin bab muzara’ah dalam Shahih-nya, kemudian beliau membawakan perkataan Abu Ja’far.

بَابُ المُزَارَعَةِ بِالشَّطْرِ وَنَحْوِهِ

وَقَالَ قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ قَالَ مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتِ هِجْرَةٍ إِلاَّ يَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ. وَزَارَعَ عَلِىٌّ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالْقَاسِمُ وَعُرْوَةُ وَآلُ أَبِى بَكْرٍ وَآلُ عُمَرَ وَآلُ عَلِىٍّ وَابْنُ سِيرِينَ

“Bab Kerja Sama Pertanian dengan Bagi Hasil Setengah namalain Sejenisnya

Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, dia berkata,
‘Di Madinah tidak ada satu pun family dari kaum muhajirin, selain mereka melakukan kerja sama pertanian dengan bagi hasil sepertiga namalain seperempat.’ Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin Zubair, family Abu Bakar, family Umar, family Ali, dan Ibnu Sirin semuanya pernah melakukan kerja sama pertanian.” (Shahih Bukhari no.2328)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

أَنَّ الْبُخَارِيَّ إِنَّمَا أَرَادَ بِسِيَاقِ هَذِهِ الْآثَارِ الْإِشَارَةَ إِلَى أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمْ يُنْقَلْ عَنْهُمْ خِلَافٌ فِي الْجَوَازِ خُصُوصًا أَهْلَ الْمَدِينَةِ

“Imam Bukhari dengan menyebut asar-asar ini sebenarnya bermaksud untuk menunjukkan bahwa para sahabat, tidak diriwayatkan dari mereka perbedaan pendapat tentang kebolehannya, terutama masyarakat Madinah.”[2]

Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَهَذِهِ الْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْبُخَارِيُّ قَدْ رَوَاهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْمُصَنِّفِينَ فِي الْآثَارِ. فَإِذَا كَانَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ كَانُوا يُزَارِعُونَ وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْكِرَ ذَلِكَ مُنْكِرٌ: لَمْ يَكُنْ إجْمَاعٌ أَعْظَمَ مِنْ هَذَا؛ بَلْ إنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا إجْمَاعٌ فَهُوَ هَذَا

“Asar-asar nan disebutkan oleh Imam Bukhari ini telah diriwayatkan oleh lebih dari satu penulis kitab tentang asar. Jika seluruh kaum muhajirin, para khalifah nan diberi petunjuk (Khulafa’ Rasyidin), para tokoh besar dari kalangan sahabat, dan tabi’in semuanya melakukan kerja sama pertanian tanpa ada seorang pun nan mengingkari perihal itu, maka tidak ada corak ijma’ (kesepakatan) nan lebih kuat dari ini. Bahkan, jika ada ijma’ di bumi ini, maka inilah salah satunya.”[3]

Oleh lantaran itu, janji muzara’ah adalah janji nan sudah diwarisi dari generasi para sahabat. Artinya perihal ini dilakukan oleh mereka radhiyallahu ‘anhum. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukannya. Kalau pun dikatakan, Nabi melakukan di Khaibar dengan orang kafir, adapun dengan kaum muslimin tidak diperbolehkan. Hal ini tertolak, dikarenakan Khaibar telah menjadi negeri kaum muslimin. Demikian nan dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Syarat pada lahan penanaman[4]

Pertama, lahan nan digunakan untuk penanaman adalah lahan nan jelas kepemilikiannya. Jika kepemilikannya belum jelas namalain tidak jelas, maka tidak boleh digunakan untuk janji muzara’ah.

Kedua, lahan nan digunakan untuk penanaman adalah lahan nan layak dan bisa digunakan untuk penanaman selama janji muzara’ah berlangsung. Jika lahan nan digunakan tersebut tidak layak, maka tidak boleh untuk melakukan janji muzara’ah di sana. Karena tidak mungkin pemilik lahan dan pengelola mendapatkan untung darinya.

Ketiga, pemilik lahan kudu menyerahkan lahannya kepada pengelola (penanam). Artinya, pemilik lahan memberikan kepercayaan kepada pengelola untuk mengelola lahannya tersebut.

Demikian mengenai dengan janji muzara’ah, nan mana muzara’ah diperbolehkan dengan dalil-dalil nan telah disebutkan di atas dan dengan ketentuan-ketentuan nan jelas dan kudu ditunaikan oleh kedua belah pihak.

Syarat pembagian hasil[5]

Terdapat dua syarat mengenai dengan pembagian hasil dari dari kedua belah pihak.

Pertama, hasil nan dibagi antara pemilik lahan dan pengelola kudu sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagaimana nan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan berdampingan masyarakat Khaibar.

Kalau dalam syarat tersebut hasil hanya dibagikan kepada salah satu pihak, maka janji muzara’ah tersebut terbatalkan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama, mengingat syarat ini tidak sesuai dengan janji kerjasama, di mana kerja sama adalah janji nan ada di janji muzara’ah.

Kedua, bagi hasil dari kedua belah pihak kudu jelas dan terbilang jumlahnya. Seperti 1/3, 1/2, dan nan semisalnya. Sebagaimana nan Nabi shallahu ‘alahi wasallam lakukan berdampingan masyarakat Khaibar.

Wallahu’alam.

***

Depok, 22 Rajab 1446 H / 22 Januari 2024 M

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.

Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr.Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.

Dan beberapa referensi lainnya

Catatan kaki:

[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, hal.316.

[2] Fathul Bari, 5:11.

[3] Majmu’ Fatawa, 29:97.

[4] Shahih Fiqh Sunnah, 5:419.

[5] Shahih Fiqh Sunnah, 5:419.

Selengkapnya
lifepoint upsports tuckd sweetchange sagalada dewaya canadian-pharmacy24-7 hdbet88 mechantmangeur mysticmidway travelersabroad bluepill angel-com027