ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Kala itu, sungguh suka cita emosi Nabi Muhammad SAW. Sebab, beliau baru saja dianugerahi kelahiran seorang putra dari seorang istrinya, Mariyah al-Qibthiyyah. Beliau menamakan anaknya Ibrahim.
Akan tetapi, kelahiran Ibrahim rupanya mengundang berprasangka dari istri-istri Nabi SAW nan lain, utamanya ‘Aisyah dan Hafshah.
Di kediamannya, ‘Aisyah mengatakan kepada Nabi SAW, wajah Ibrahim tidak menyerupai beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar perihal itu, Rasulullah SAW menunjukkan raut wajah tidak suka.
Perasaan berprasangka nan berlebihan juga ditunjukkan Hafshah. Putri Umar bin Khattab itu merasa tersaingi oleh Mariyah, nan telah memberikan seorang anak laki-laki untuk suaminya.
Menghadapi kecemburuan nan datang dari 'Aisyah dan Hafhsah, Rasulullah SAW memilih sikap lemah-lembut. Bagaimanapun, beliau adalah pemimpin umat. Tidak punya banyak waktu untuk melayani perangai berprasangka nan ekstrem. Demikian pula, beliau tak mau membiarkan dirinya dipermainkan istri.
Akhirnya, selama sebulan penuh Nabi SAW mendiamkan keduanya. Dalam rentang waktu itu, Rasulullah SAW memusatkan perhatian pada upaya-upaya dakwah dan penyebaran Islam di Jazirah Arab.
Abu Bakar dan Umar sebagai para mertua Nabi SAW merasa resah sekali. Mereka khawatir, Rasulullah SAW bakal menceraikan masing-masing putri mereka. Bukan tak mungkin perangai ‘Aisyah dan Hafshah nan menyulitkan Nabi SAW bakal menyebabkan datangnya murka Allah SWT.
Setelah menyadari keadaan ini, 'Aisyah dan Hafshah pun menyesal. Mereka merasa khilaf lantaran telah terdorong rasa berprasangka nan berlebihan, sampai-sampai melukai emosi sang suami. Kini, Rasulullah SAW lebih memilih menghabiskan sebagian waktu dalam sebuah bilik, alih-alih rumah kedua istrinya itu.
Selama beliau tinggal dalam bilik itu, ada pelayan beliau berjulukan Rabah. Lelaki itu selalu menunggu di periode pintu, menjaga agar tidak ada orang nan masuk selain atas izin beliau SAW.
Seiring waktu, desasa-desus bahwa Nabi SAW bakal menceraikan istri-istrinya itu mencuat. Rasa resah pun kian menggelayuti pikiran Abu Bakar dan Umar.
Suatu hari, Umar begitu mau berjumpa dengan Nabi SAW. Sekali lagi, Umar mengulangi permintaannya. Namun, Rabah tetap tidak memberikan jawaban. Demikian seterusnya hingga permintaan diajukan sebanyak tiga kali.