ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Pada abad ke-19, Jakarta dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 10 wilayah dakwah Islam. Itu lengkapnya adalah Pekojan, Mester, Paseban, Cipinang Muara, Kuningan, Menteng Atas, Gondangdia, Basmol, Cengkareng, dan Tenabang.
Dari Pekojan, sejarah mencatat satu nama ustadz besar, ialah Guru Manshur Jembatan Lima. Disebut demikian lantaran ustadz tersebut tinggal di Kampung Sawah, Jembatan Lima, nan kala itu tetap termasuk area Pekojan.
Mengutip kitab Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011), Syekh Muhammad Manshur namalain Guru Manshur lahir di Jakarta pada 1887. Ia tetap keturunan Tumenggung Cakra Jaya dari Mataram, Jawa.
Muhammad Manshur menghabiskan masa kecilnya di bawah didikan sang ayah, KH Abdul Hamid. Setelah ayah sekaligus pembimbing pertamanya itu wafat, dia belajar pada KH Mahbub, nan tidak lain kakaknya sendiri.
Di samping itu, Manshur muda juga menimba pengetahuan dari KH Thabrani bin Abdul Mughni. Begitu pula dengan Syekh Mujitaba, nan kemungkinan ditemuinya ketika bermukim di Tanah Suci.
Saat berumur dewasa, Manshur menunaikan ibadah haji. Dia juga menggunakan kesempatan ini untuk menuntut ilmu-ilmu agama.
Di sana, Manshur belajar pada sejumlah ustadz besar. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mukhtar Atharid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ali al-Maliki, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Umar Sumbawa.
Empat tahun kemudian, dia kembali ke Jakarta. Lekatlah gelar pembimbing di depan namanya. Sebagaimana para ustadz Nusantara nan lama di Haramain, Guru Manshur mendirikan majelis ilmu. Untuk tempat mengajar, pilihannya jatuh pada Masjid Jembatan Lima.
Di luar itu, dia juga berceramah di sejumlah tempat, antara lain Kenari dan Cikini. Selain ilmu-ilmu agama, dia juga mendidik para muridnya dengan sains, terutama pengetahuan falak nan memang sudah lama ditekuninya.
Di antara murid-muridnya, ada nan kemudian menjadi sejumlah ustadz dari Betawi. Sebut saja, KH Abdullah Syafii dan KH Abdul Rasyid Ramli. Selain itu, ada pula KH Abdul Khoir (Krendang, Jakarta Barat) dan KH Firdaus, nan kemudian diangkatnya menjadi mantu.