ARTICLE AD BOX
KincaiMedia, JAKARTA -- Seorang sahabat Imam Hanafi nan berjulukan Abu Yusuf menceritakan, ada seseorang nan bertanya kepada Imam Hanafi. Pertanyaannya adalah kenapa Imam Hanafi memilih bagian pengetahuan fikih?
Imam Hanafi menjawab, "Kuberitahukan padamu, adapun taufik (petunjuk memilih bagian pengetahuan fikih) adalah dari Allah. Bagi-Nya segala pujian dan Dia berkuasa atas itu. Ketika hendak belajar, saya memeriksa seluruh pengetahuan satu persatu. Aku membaca bidang-bidang pengetahuan tersebut. Aku pikirkan hasilnya dan letak manfaatnya. Aku mengkaji pengetahuan kalam. Ternyata hasilnya adalah jelek dan manfaatnya hanya sedikit. Jika orang bicara dengan pengetahuan kalam, dia tidak bisa bicara terang-terangan dan bakal menuduh dengan segala kejahatan. Dia dia dinamakan pengikut hawa nafsu."
Kemudian Imam Hanafi melanjutkan, "Kemudian saya memeriksa pengetahuan etika (sastra) dan nahwu. Ujung-ujungnya kelak saya kudu duduk dengan anak-anak. Mengajari mereka pengetahuan nahwu dan adab. Kemudian saya mengawasi pengetahuan syair. Maka kudapati ujung-ujungnya adalah tentang pujian dan celaan, perkataan bohong dan merusak agama.""
"Kemudian saya memikirkan pengetahuan qiraah. Jika saya menguasainya maka anak-anak muda bakal berkumpul belajar kepadaku. Padahal menerangkan Alquran dan makna-maknanya itu sulit. Kemudian saya katakan, saya kudu belajar pengetahuan hadits. Tapi, untuk mengumpulkan banyak hadits memerlukan umur panjang, sampai orang-orang butuh kepadaku. Dan jika saya sudah dibutuhkan orang, nan datang kepadaku adalah anak-anak muda. Bisa saja mereka menuduhku bohong dan lemah mahfuz sehingga tuduhan itu melekat padaku hinggat hari kiamat."
"Kemudian saya periksa pengetahuan fikih. Setiap kali memeriksanya, saya mendapatinya semakin berkilau dan tak bercela. Oleh lantaran itu saya memutuskan belajar kepada para ulama, fuqaha, dan masyaikh dan meniru etika mereka. Selain itu saya memandang penyelenggaraan tanggungjawab iqamatuddin dan berakidah tidak bakal betul selain dengan memahami pengetahuan fikih. Begitu pula mencari bumi dan akhirat, kudu memahami pengetahuan fikih."
"Orang nan mencari bumi dengan pengetahuan fikih berfaedah dia telah mencari perkara nan serius, dan dia bakal mencapai kemuliaannya. Dan bagi siapa saja nan mau berakidah dan meninggalkan urusan duniawi, maka tidak ada seorang pun nan bisa mengatakan, 'beribadahlah tanpa ilmu.' Ada nan mengatakan, 'Itulah fikih, dan kebaikan berasas ilmu."
Riwayat di taas menjelaskan bahwa Imam Hanafi telah mengkaji ilmu-ilmu nan berkembang pada zamannya untuk memilih mana nan cocok untuk dirinya dan diambil spesialisasinya. Dengan demikian, tampak Imam Hanafi mempunyai pemahaman bumi pada setiap bagian pengetahuan nan ada pada zamannya. Meskipun akhirnya beliau hanya konsentrasi menggeluti pengetahuan fikih. Pilihan itu beliau jatuhkan setelah menguji ilmu-ilmu lainnya dan memahaminya secara global.
Untuk diketahui, Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota berjulukan Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi nan bergelar Al-Imam Al-A'zham.
Saat tetap kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia mempunyai toko untuk berbisnis kain.
Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi nan dikenal sebagai orang nan haus bakal pengetahuan pengetahuan, khususnya dalam pengetahuan agama, menjadi seorang mahir dalam bagian pengetahuan fikih dan menguasai bebagai bagian pengetahuan kepercayaan lain, seperti pengetahuan tauhid, pengetahuan kalam, pengetahuan hadis, serta pengetahuan kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, dia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan nan rumit.
sumber : Syekh Abdul Aziz Asy Syinawi / Biografi Empat Imam Mazhab